kaligrafi

kaligrafi

Minggu, 28 Agustus 2011

MELIHAT SABIT MENJELANG SYAWAL

(Ru’yat al-Hilal); Antara Hisab, Rukyat, Rukyat Lokal dan Rukyat Global
Catatan : Fakta di tulisan ini memang sudah sangat lama, namun content-nya Insya Allah up to date, jd sengaja diPosting ulang.
Pendahuluan
Sebagaimana biasa, dari tahun ke tahun kedatangan bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah, senantiasa disambut hangat oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Di bulan ini, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap amal sholeh yang dikerjakan. Di bulan ini pula terdapat malam ‘lailatul qadar’ yang nilainya setara dengan seribu bulan. Subhanallah !



Namun sayang, di samping kegembiraan itu, kedatangan Ramadhan sampai saat ini masih saja menyisakan keprihatinan, mengingat ‘kebiasaan’ kaum muslimin untuk berbeda dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan seolah tak pernah terselesaikan. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar dari mereka, termasuk para ulama dan penguasa, seakan-akan tidak peduli akan kepentingan menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan mereka menganggapnya sebagai hal yang mengada-ada dan mustahil. Padahal, pelaksanaan Ramadhan serta pelaksanaan ‘Ied memiliki akibat-akibat hukum yang tidak dapat disepelekan begitu saja, seperti keharaman mendahului Ramadhan dengan shaum, masalah batas akhir waktu zakat fitrah ataupun masalah keharaman shaum pada hari Raya. Lebih dari itu, mereka belum memahami, bahwa masalah kesatuan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya merupakan salah satu kewajiban syara’ yang harus ditunaikan oleh seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada. Sehingga pada faktanya, semangat ashobiyah (fanatisme kelompok, nasionalisme) cenderung lebih mengemuka ketimbang keinginan untuk memahami tuntutan syara’, sekaligus melihat ummat ini kompak dan bersatu.

Sebagai fakta, Ramadhan lalu misalnya, Pemerintah Indonesia menetapkan, bahwa awal Ramadhan 1420 H jatuh pada hari Kamis, 9 Desember 1999. Sementara beberapa negeri kaum muslimin yang lain, seperti Yaman, Libya, Aljazair, Kuwait dan Mesir berdasarkan ru’yatul hilal menetapkan tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Rabu, 8 Desember 1999. Sebagian masyarakat muslim di Indonesia yang lebih yakin berpegang pada penetapan ru’yat sesuai dengan tuntutan syara’, ikut mengawali shaum Ramadhan pada hari Rabu, 8 Desember 1999, meskipun mereka hanya imsak (menahan diri dari hal-hal yang membatalkan shaum) seraya meniatkan mengqadlanya di luar bulan Ramadhan. Hal ini disebabkan informasi ru’yatul hilal terlambat sampai kepada mereka, yakni diterima pada pagi hari setelah terbit fajar.

Sementara itu, kejanggalan serupa juga terjadi pada saat memasuki ‘Iedul Fitri, dimana berdasarkan ru’yat global (internasional) 1 Syawal 1420 H jatuh pada hari Kamis, 6 Januari 1999, sedangkan berdasarkan ru’yat lokal, 1 syawal jatuh pada hari Jum’at, 7 Januari 1999. Yang menggelikan, Pemerintah Indonesia sendiri (berdasarkan hisab) kadung menetapkan ‘Iedul fitri jatuh pada hari Sabtu, 8 Januari 1999. Praktis ‘Iedul Fitri lalu dirayakan kaum muslimin di Indonesia dalam tiga waktu yang berbeda.

Lalu apa sebenarnya penyebab munculnya perbedaan-perbedaan itu, bagaimana cara menyelesaikannya agar kaum muslimin tidak lagi berada dalam kebingungan setiap kali menyongsong Ramadhan ?


Membuka Kembali Petunjuk Syar’iy

Bahwa dijadikannya hukum-hukum Syar’iy sebagai pangkal seluruh perbuatan, ibadah maupun mu’amalah adalah sesuatu perkara yang tidak perlu didiskusikan, apalagi diperselisihkan. Berdasarkan nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, para Ahli Ushul telah menggariskan komitmen ini dalam sebuah kesepakatan kaidah :

“Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum Syar’iy”

Kaidah inilah yang memberikan pemahaman bagi kita, bahwa seluruh perbuatan manusia akan senantiasa terikat dengan hukum syara’, dimana dengan standar hukum syara’ tersebut perbuatan-perbuatan manusia akan dinilai dan diberi balasan. Demikian pula dalam masalah shaum Ramadhan dan ‘Iedul Fitri ini, sesungguhnya syara’ telah menetapkan hukum dan tatacara pelaksanaannya secara jelas dan terperinci. Dengan kata lain, kedua perkara tersebut sudah termasuk bagian dari ibadah yang secara tauqifiy (baku) wajib kita lakukan sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW. Sehingga, tatkala kaum muslimin menghendaki ibadah shaum yang dilaksanakannya dinilai sebagai amal shaleh, maka selain harus didasari keikhlasan, mau tidak mau mereka juga harus mensandarkannya pada aturan-aturan yang telah Allah SWT tetapkan bagi mereka.

Hal mendasar inilah yang terlebih dahulu harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga tatkala jelas bagi mereka tentang kekuatan hujjah dari suatu pendapat, sekalipun itu bertentangan dengan pendapatnya semula atau bahkan bertentangan dengan hawa nafsunya, maka dengan serta merta mereka tunduk dan patuh mengikuti kebenaran yang diperolehnya.


Ketetapan Syara’ Mengenai Awal dan Akhir Ramadhan

Dalam kesempatan Diskusi Panel yang mengangkat thema “Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan, Menuju Kesatuan Ummat”, 2 Januari 2000 di Ball Room Hotel Papandayan Bandung, sempat mengemuka beberapa analisis terhadap fakta perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Di antaranya disebutkan, bahwa penyebab perbedaan ini tidak lain akibat :

Tidak adanya kesepakatan dalam landasan syar’iy mengenai penggunaan metoda penentuan kalender, seperti ru’yat mutlak, hisab mutlak, atau ruyat yang di dukung hisab/hisab yang disahkan ru’yat;
Akibat ketidaksepakatan dalam teknis ru’yat, seperti dalam hal penentuan lokasi dan waktu pengamatan, penggunaan alat bantu, serta syarat-syarat kesaksian yang bisa diterima;
Akibat ketidak sepakatan dalam teknis hisab, seperti metoda perhitungan astronomi (ijtima’, irtifa’), kriteria masuknya bulan baru (wujudul hilal, imkanur ru’yat);
Serta akibat tidak adanya kesepakatan dalam pemberlakukan hasil ru’yat/hisab (lokal atau global). Lebih dari itu, tidak adanya lembaga pemersatu yang memiliki otoritas terpercaya di tengah-tengah kaum muslimin makin memperparah keterpecahbelahan kaum muslimin, termasuk dalam permasalahan shaum dan ‘Iedul Fitri ini.

Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap ? Tentu saja, sebagaimana yang Allah SWT perintahkan, persoalan ini harus kita kembalikan kepada ketentuan syara' semata, yakni dengan melakukan penelaahan secara mendalam terhadap berbagai pendapat
beserta dalil yang dikemukakannya. Berkenaan dengan hal ini, mari kita perhatikan nash-nash berikut ini :

“Bulan Ramadlan yang padanya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan akan petunjuk dan pembeda yang haq (dari kebathilan).
Bagi siapa di antaramu yang bersua saat Ramadhan itu, maka shaumlah ….. “
(QS. Al-Baqarah : 185)

Dalam HR. Bukhari Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda :

“Janganlah kamu sekalian shaum hingga kalian melihat bulan,
dan jangan pula berbuka hingga kalian melihat bulan.
(Tetapi) bila mendung menghalangi (penglihatanmu), maka genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.

Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar, dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Satu bulan adalah 29 hari. Maka, janganlah kamu sekalian
menjalankan shaum sampai kalian melihatnya. Sekiranya mendung menutupimu, maka genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.

(Hadist serupa diriwayatkan juga oleh Muslim dengan redaksi yang agak berbeda).

Selain hadits-hadits di atas, diterima juga dari Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Shaumlah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah kalian ketika melihat hilal. Maka jika mendung menghalangi penglihatan kalian dari melihat hilal, sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban”.

Hadits-hadits di atas demikian gamblang menjelaskan, bahwa penentu awal dan akhir Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal). Dengan kata lain, berdasarkan ketetapan hukum syara’, penyebab sah untuk memulai shaum Ramadhan dan ‘Iedul Fitri tidak lain adalah dengan melihat hilal. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa perintah shaum dan berbuka (‘Iedul Fitri) dengan meru’yat hilal adalah WAJIB, dimana hukum wajib ini dilihat dari adanya qarinah (isyarat) yang secara tegas menuntut setiap kaum muslimin untuk melaksanakannya dengan seksama. Hal ini bahkan ditunjukka secara fi’liyah oleh baginda Rasulullah SAW, berdasarkan kesaksian Siti Aisyah ra. : “Adalah Rasulullah SAW sangat mencermati keadaan hilal pada bulan Sya’ban melebihi perhatian beliau akan bulan selain Sya’ban. Beliaupun melakukan shaum Ramadhan karena terlihatnya hilal. Maka apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung 30 hari, kemudian beliau shaum”(HR. Ahmad, Abu Daud dan Daruquthni).


Lantas bagaimana dengan Hisab ?

Sesungguhnya Islam tidak pernah melarang ummatnya untuk mempelajari Ilmu Hisab dan menggunakan ilmu tersebut untuk suatu kegunaan, seperti untuk kepentingan navigasi, pemetaan dan sebagainya. Dengan kata lain, hukum mempelajari dan menggunakannya adalah MUBAH. Akan tetapi dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, tidak ditemukan satu nashpun yang membenarkan digunakannya hisab sebagai penentu satu-satunya. Bahkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum syara’ yang diperintahkan untuk diamalkan dalam hal ini adalah ru’yat yang jelas-jelas nyata sebagai tuntunan. Adapun mengenai kebolehan dipergunakannya hisab sebagai perangkat bantu dalam meru’yat hilal, yakni dalam memperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan ru’yat, tetap tidak mengubah kedudukan ru’yat yang WAJIB sebagai ketentuan hukum syar’iy secara mutlak. Apalagi, bagaimanapun meru’yat adalah aktivitas yang ril, yakni melihat/mengamati hilal (bulan sabit) dengan menggunakan penglihatan (mata). Dan selain itu, syara’ juga memberikan ketetapan lain, yakni keharusan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika pengamatan tadi terhalang oleh awan.

Adapun mengenai sabda Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra :
“Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan menghitung. Satu bulan adalah begini, begini, begini (menyodorkan kesepuluh jari tangan tiga kali, dengan menekuk jari jempol pada sodoran yang ketiga). Dan satu bulan adalah begini, begini, begini (dengan membuka seluruh jari-jari pada ketiga sodoran)”. (dalam Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, Jilid VII/192 dan Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Jilid IV/126-127).

Sesungguhnya hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengklaim keabsahan penggunaan hisab dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Bahkan jika dicermati, hadits tersebut justru menerangkan hakekat ru’yat sebagai penentu perputaran (siklus) bulan. Dan berkenaan dengan hadits tersebut Ibnu Hajar Al-Asyqalaniy berkomentar sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan hisab dalam hadits ini adalah hisabun-nujum
(perhitungan ilmu falak/astronomi) dan peredarannya. Dan bahwa orang-orang dahulu belum mengetahui ilmu itu kecuali sedikit pengetahuan yang sederhana.Dan dikaitkannya puasa dan lain-lain dengan ru’yat adalah untuk menghilangkan kesukaran dari mereka
dalam menggunakan hisab peredaran bulan”.
Lalu beliau menambahkan :
“Syara’ telah melarang penggunaan ilmu astronomi, sebab ilmu itu bersifat perkiraan dan taksiran. Ilmu tersebut tidak menghasilkan kepastian, bahkan tidak menghasilkan dugaan yang kuat. Di samping itu, kalau masalah shaum dan lain-lain harus dikaitkan dengan ilmu astronomi, niscaya akan menyulitkan. Sebab hanya sedikit orang yang mengetahui ilmu itu”.

Dari penjelasan di atas, nampak bahwa Ibnu Hajar hanya menggunakan ru’yat, tidak menggunakan hisab. Pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur fuqaha pada saat itu, termasuk para imam madzhab yang melarang penggunaan hisab. Namun pendapat ini sebenarnya di dasarkan pada suatu illat (sebab penetapan hukum) tertentu, yakni ketidakakuratan hasil hisab akibat langkanya orang yang mengetahui ilmu hisab. Karena mengandung illat, maka konsekuensinya adalah jika illat hukum itu telah lenyap (misalnya dengan makin majunya ilmu astronomi dan makin banyaknya ahli hisab), maka penentuan awal dan akhir Ramadhan dengan hisab tidak dilarang lagi, artinya hukumnya menjadi MUBAH (boleh), dengan syarat hisab tersebut dilakukan oleh ahli hisab yang tsiqah (terpercaya). Tapi sekali lagi, kebolehan menggunakan hisab ini tetap tidak dapat menggantikan kedudukan ru'yat yang hukumnya WAJIB menurut syara’.

Akan tetapi, dalam hal ini, kita tetap tidak boleh meremehkan pemahaman yang mengatakan, bahwa hanya dengan metode hisabpun dapat ditentukan awal dan akhir Ramadhan, selama pemahaman tersebut diperoleh melalui proses ijtihad yang sah. Hanya saja, kita tetap berkewajiban menunjukkan kelemahan hujjah yang digunakan. Apalagi, dari sisi fakta, sekalipun saat ini sudah dapat ditemukan metode-metode hisab yang memiliki akurasi sangat tinggi, yang salah satunya dibuktikan dengan tepatnya perhitungan waktu gerhana sampai digit detik sekalipun, akan tetapi metode yang digunakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia ternyata masih jauh tertinggal, sehingga memiliki banyak kelemahan dan ketidak pastian. Buktinya, tak jarang hasil metoda hisab yang satu berbeda dengan hasil metoda hisab yang lainnya. Padahal secara aqliy, hasil hisab yang benar akan sama dengan hasil ru’yat. Hal ini tentu bisa dimengerti, bila mengingat teori yang digunakan dalam metoda hisab tersebut bukanlah hitungan metematika murni yang pasti, melainkan hitungan-hitungan yang didasarkan pada beberapa asumsi, seperti bahwa bumi ini berbentuk bulat seperti bola yang terbagi menjadi 360 derajat, dengan 1 derajatnya sama dengan 4 menit. Padahal faktanya tidak sesederhana demikian.

Oleh karena itu, dengan penjelasan-penjelasan yang disandarkan pada nash syara’ di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan wajib dilakukan dengan rukyat saja. Sementara penggunaan hisab tidak mengubah kewajiban menggunakan metoda ru’yat tadi, sehingga kalaupun ingin digunakan, maka fungsinya hanya untuk memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk melakukan ru’yat tadi.


Antara Ru’yat Lokal dan Ru’yat Global

Setelah kita memahami bahwa penyebab sah untuk memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan sabit), maka persoalan yang muncul adalah mengenai pemberlakuan hasil ru’yat tersebut, apakah bersifat lokal atau global. Dengan kata lain, apakah ru’yat harus dilakukan dengan memperhatikan perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) di permukaan bumi atau tidak.

Mengenai hal ini, Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yat global dengan tidak mempertimbangkan lagi perbedaan mathla’. Artinya hasil ru’yat hilal di suatu negeri berlaku untuk semua penduduk negeri yang lainnya (Lih. Tafsir Al-Qurthubi Jilid II/296, kitab ad-Darul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid II hal. 131-132 dari Imam Al-Hasfaky, kitab Mughniyul Muhtaj, jilid II/223-224). Pendapat ketiga imam madzhab inilah yang kemudian dipilih oleh Imam Asy-Syaukaniy seperti yang tercantum dalam kitab Nailul Authar Jilid II/218.

Sementara itu, para pengikut Imam Syafi’iy memiliki pendapat lain, yakni bahwa awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan pada ru’yat yang bersifat lokal serta dengan mengikuti perbedaan mathla’, sehingga menurut beliau apabila telah terbukti ru’yat di suatu tempat, maka daerah-daerah yang berdekatan dengan tempat tersebut wajib shaum berdasarkan hasil ru’yat tersebut. Adapun jarak yang berdekatan itu dapat diukur/ditentukan dengan mathla’ yang satu, yakni jarak yang terletak antara dua mathla’ (+ 24 farsakh atau + 120). Sedangkan penduduk yang berada di wilayah yang jauh (di luar radius 120 km), maka tidak wajib shaum berdasarkan ru’yat tersebut, karena berbeda mathlanya. (Lih. Al-Fiqh ‘ala al-Madzaahib al-‘Arba’ah, Jilid I/550). Hanya saja, penetapan kesatuan mathla’ pada daerah radius 120 km (24 farsakh) dari pusat mathla’ tadi ditentukan oleh para tokoh madzhab Syafi’iy TANPA disandarkan pada satu nash pun, melainkan hanya mengqiyaskannya pada jarak safar untuk shalat qashar.

Adapun bagi orang-orang yang sering mengkaji masalah ini akan mendapati, bahwa pendapat 3 Imam Madzhablah yang lebih tepat dibandingkan dengan pendapat pengikut Imam Syafi’iy. Setidaknya ada tiga alasan, yakni :

1. Dari sisi lafadz, ternyata nash-nash yang berkaitan dengan masalah tersebut bersifat umum, sehingga seruannyapun tertuju pada seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada. Kata ganti berupa wawu jama’ (dhamir jama’ah) yang terdapat dalam kalimat d dan , semuanya tertuju pada kaum muslimin seluruhnya, tanpa membedakan wilayah domisili. Demikian juga dalam penggunaan kata ru’yat, dimana Rasulullah SAW mengucapkannya dalam bentuk umum, seperti . Dan menurut para ahli bahasa, Ismil jinsil mudhaf adalah termasuk lafadz umum, sebagai-mana kata ru’yat dalam hadits ( ). Demikian pula dhamir yang kembali kepada isim yang menunjukkan bentuk jamak seperti kata dan kata d yang mengandung isim dhamir semuanya menunjukkan makna umum. Dalam hal ini, keumuman dalil-dalil di atas bersifat tetap, karena tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya.
Dengan demikian, perintah shaum dan berbuka dengan adanya ru’yat adalah perintah untuk seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dimana hasil ru’yat sebagian kaum muslimin berlaku atas kaum muslimin dimanapun mereka berada.

Selain itu, hal ini diperkuat oleh perbuatan para shahabat di zaman Rasulullah, yakni mereka shaum dan berbuka (iedul fitri) pada hari yang sama, sekalipun berada pada daerah yang berbeda. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menerima berita hilal Ramadhan dari seorang Baduwi yang datang kepada beliau, sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra yang berkata :
“Seorang Arab Baduwi telah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘bahwasannya saya telah melihat hilal Ramadhan’. Maka bertanya Rasulullah SAW :’Apakah kamu mengakui bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah?’. Baduwi itu menjawab : ‘Benar’. Rasulullah bertanya lagi : ‘Apakah engkau mengakui, bahwa Muhammad itu Rasulullah ?’. Baduwi itu menjawab: ‘Benar’. Maka bersabdalah Rasulullah SAW :’Wahai Bilal, beritahukan kepada manusia supaya mereka berpuasa esok hari !’”.

2. Pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya ternyata disandarkan pada hadits Ibnu Abbas yang tidak marfu (tidak sampai pada Rasulullah SAW). Hadits tersebut adalah : “Diriwayatkan dari Kuraib, bahwasannya Ummu Fadl telah mengutusnya menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : ‘Lalu aku pergi ke Syam dan menyelesaikan urusan Ummu Fadl. Ternyata bulan Ramadhan telah tiba, sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku : ‘Kapan kamu melihat bulan?’. Aku menjawab : ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at’. Dia bertanya lagi : ‘Apakah kamu melihat sendiri ?’. Aku menjawab : ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya, lalu mereka berpuasa, begitu pula Mu’awiyyah’. Dia (Ibnu Abbas) berkata lagi : ‘Tapi kami di Medinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga sempurna bilangan 30 hari, atau hingga kami melihatnya’. Aku (Kuraib) bertanya : Tidak cukupkah kita berpedoman kepada ru’yat dan puasanya Mu’awiyyah?’. Dia menjawab : ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami’”. (HR. Jamaah, kecuali Imam Bukhari dan Ibnu Majah).

Tentang hadits ini Imam Asy-Syaukaniy dalam kitab Nailul Authar Jilid IV hal 125 berkomentar demikian : “Ketahuilah, bahwa yang layak menjadi hujjah tidak lain adalah riwayat yang marfu dari Ibnu Abbas, dan bukan ijtihad Ibnu Abbas sendiri”. Dengan kata lain, beliau mengatakan, bahwa mengenai shaumnya penduduk Madinah yang tidak diharuskan mengacu pada ru’yat dan shaumnya Muaawiyyah (yang ada di Syam) seperti tersebut pada hadits di atas, itu hanyalah pendapat (pemahaman/ijtihad) Ibnu Abbas sendiri terhadap perintah Rasulullah SAW agar bershaum dan berbuka ketika melihat bulan. Hal ini terlihat dari ucapan Ibnu Abbas sendiri yang tidak mengatakan “demikianlah yang diriwayatkan/yang dikatakan Rasulullah kepada kami” melainkan “demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kami”. Sementara itu, ijtihad sahabat tidak dapat dipakai sebagai hujjah, karena ijtihad sahabat bukan merupakan dalil syar’iy serta tidak dapat mentakhsish (mengkhususkan) keumuman hadits.

Selanjutnya Imam Asy-Syaukaniy mengatakan : “Kenyataan sebenarnya, bahwa yang berasal dari Rasulullah adalah sabdanya yang diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari-Muslim) serta yang lainnya dengan lafadz :’Janganlah kalian shaum hingga kalian melihat bulan (hilal). Dan janganlah kalian berbuka (‘Ied) hingga kalian melihatnya. Maka jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan (bulan) sebanyak 30 hari’. Sabda beliau ini tidak dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khithab (seruan) yang tertuju pada siapapun di antara kaum muslimin yang seruan itu telah sampai kepadanya”.

Kemudian belaiau menutup uraiannya dengan menyimpulkan : “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan (ru’yatul hilal), maka ru’yat itu berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain”. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jazairi seperti tercantum dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzaahibil ‘Arba’ah, Jilid I, hal 55.

3. Alasan ketiga berkaitan dengan belum jelasnya manathul hukmi (fakta yang menjadi obyek penerapan hukum) pada jaman itu, yakni pemahaman mengenai fakta mathla’-mathla’ (tempat-tempat terbitnya hilal). Sementara, pada saat ini kita dapat mengetahui secara meyakinkan, bahwa lahirnya bulan sabit (di luar angkasa) ternyata terjadi satu kali dan pada saat yang sama di seluruh permukaan bumi. Hanya saja memang terjadi perbedaan melihat bulan dari bumi tergantung perbedaan letak masing-masing negeri. Terhadap fakta tersebut, kecanggihan teknologi saat ini sebenarnya bisa memungkinkan bagi penduduk bumi menyaksikannya secara serentak sebagaimana peristiwa gerhana. Dan selain itu, sekarang telah juga diketahui, bahwa jarak terjauh perbedaan penetapan awal dan akhir shaum paling lama adalah sekitar 12 jam. Sementara, kebanyakan kaum muslimin tinggal di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara yang perbedaan waktunya paling lama adalah 4-5 jam. Dalam interval waktu ini amat memungkinkan saudara kita kita belahan Barat –yang mungkin melihat hilal terlebih dahulu- untuk menyampaikan informasi (melalui telepon, faks, internet, dsb) kepada kaum muslimin yang ada di sebelah Timur. Sebab terdapat jeda waktu yang cukup antara saat maghrib (yakni saat ru’yatul hilal) dengan waktu sahur untuk mencari dan memperoleh informasi tentang hasil ru’yat dari negeri-negeri lain yang melihatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, perbedaan mathla’ tidak dapat lagi menjadi alasan bagi adanya perbedaan waktu awal dan akhir Ramadhan.


Khatimah

Munculnya keragaman dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya hanya merupakan salah satu dari berbagai masalah yang dihadapi kaum muslimin. Hal ini terjadi terutama setelah lenyapnya institusi yang menaungi dan melindungi kaum muslimin dari keterpecahbelahan dan kehinaan mereka melalui penerapan hukum-hukum Islam secara total.

Oleh karena itu, untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin dan mempersatukan kembali mereka, termasuk dalam perkara-perkaran yang sulit dipersatukan akibat keragaman pendapat di kalangan mereka, maka sudah saatnya kaum muslimin berupaya menegakkan kembali institusi tadi (yakni sistem Khilafah Islam) melalui aktivitas da’wah di kalangan mereka tanpa kecuali. Dan mengawali Ramadhan 1421 H mendatang secara serentak pada hari yang sama, Insya Allah akan menjadi awal yang baik bagi tumbuhnya ghirah memperjuangkan tegaknya kembali kalimatullah di muka bumi.
Aamiin yaa Rabbal ‘aalaamiin.

--------------------102000, SNA, dari berbagai Sumber.
di 08:24 0 komentar Link ke posting ini
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBerbagi ke Google Buzz
Label: FIQIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut