kaligrafi

kaligrafi

Selasa, 17 Mei 2011

Nasehat tuk penuntut ilmu, tazkiyah

PENDAHULUAN

Pada pembahasan yang telah kami sebutkan di depan dalam kitab ini, anda bisa memahami bahwa menuntut ilmu itu hukumnya ada yang fardlu ‘ain bagi setiap muslim dan ada yang fardlu kifayah. Dan anda juga bisa memahami bahwa menuntut ilmu itu asalnya adalah dengan cara belajar langsung kepada ulama’ dan bertanya kepada fuqoha’ (ahli fiqih).

Akan tetapi kadang belajar lengsung kepada ulama’ itu tidak bisa dilakukan, terkadang karena di sebagian negara itu ulama’ jarang didapat atau terkdang karena di beberapa negara yang lain, orang yang menjadi pengajar atau mufti (juru berfatwa) nya adalah orang bodoh atau fasiq sehingga perkataan mereka tidak bisa dipercaya. Dengan demikian maka merujuk kepada buku itu tidak bisa dihindarkan lagi.
Dan diantara karunia Alloh yang Alloh anugrahkan kepada umat ini adalah bersepakatnya para ulama’ atas disyari’atkannya belajar dari buku yang disebut dengan Al Wijaadah. Pembahasan tentang disyari’atkannya Al Wijaadah ini telah kami rincikan pada Bab III Pasal III dalam kitab ini, disamping itu para ulama’ juga sepakat bahwa Al Wijaadah itu lebih rendah tingkatannya daripada belajar secara langsung kepada ulama’. Akan tetapi Al Wijaadah itu lebih baik daripada belajar dari para pemimpin yang bodoh yang disebut oleh Rosululloh SAW dalam sabdanya:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Alloh itu tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hambaNya akan tetapi Alloh mencabut ilmu dengan cara mencabut (mematikan) ulama’, sampai apabila tidak tersisa seorang ulama’ pun, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu para pemimpin itu ditanya lalu berfatwa tanpa berdasarkan ilmu, maka merekapun sesat dan menyesatkan” (Muttafaq ‘alaih).

Ini merupakan tanda-tanda kecil kiamat, sebagaimana sabda Rosululloh SAW:

من أشراط الساعة أن يقل العلم و يظهر الجهل
“Diantara tanda-tanda Qiyamat adalah sedikitnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”. (HR. Al-Bukhori dari Anas ra. hadits no. 81).
Karena sesungguhnya belajar dengan cara Al Wijaadah itu merupakan indikasi atas kurangnya ilmu, karena tidak diragukan lagi bahwa Al Wijaadah itu lebih rendah tingkatannya daripada belajar secara langsung kepada ulama’.

Apabila telah diterima bahwa belajar dengan cara Al Wijaadah itu diperbolehkan, maka sesungguhnya untuk belajar dengan cara Al Wijaadah ini tidak ada syarat apapun kecuali hanya memastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis oleh penulisnya. Dan syarat ini al hamdulillah terpenuhi pada semua kitab yang dijadikan landasan oleh umat.

Sedangkan maksud kami menulis bab ini (Buku-Buku Yang Kami Sarankan Untuk Dipelajari) adalah kami ingin menunjukkan kepada para penuntut ilmu kepada buku-buku yang harus ia baca dan pelajari. Petunjuk ini akan nampak penting apabila anda melihat banyaknya buku yang memenuhi perpustakaan-perpustakaan umum dan di toko-toko buku, yang mana setiap bidang ilmu bisa mencapai ribuan buku dari yang ringkas sampai yang panjang lebar. Ada yang jelek dan ada yang bagus, ada yang ditulis oleh para imam yang membawa petunjuk dan ada yang ditulis oleh para penebar kesesatan. Sehingga seorang penuntut ilmu — khususnya bagi para pemula — akan bingung menghadapi lautan buku tersebut, ia tidak tahu buku apa yang harus dia baca dan darimana dia harus mulai? Jika ia tidak mendapat bimbingan Alloh dia akan menyia-nyiakan umurnya bertahun-tahun untuk membaca buku-buku yang tidak ada manfaatnya atau buku-buku yang justru akan menyesatkan dan mencelakakannya. Dan kadang dia akan membaca buku yang seharusnya dia tidak membacanya kecuali setelah ia membaca buku-buku pengantarnya, sehingga ia tidak dapat memahami buku tersebut kecuali hanya sedikit. Dan kadang dia akan membelanjakan hartanya untuk membeli buku-buku yang seharusnya tidak ia beli pada tahapan yang tengah ia lalui. Kendala-kendala tersebut dan juga kendala-kendala lainnya telah dikeluhkan kepada saya oleh lebih dari seorang pemuda yang komitmen dengan diennya. Saya gambarkan keadaan seorang penuntut ilmu dalam menghadapi perpustakaan-perpustakaan yang berisi ribuan buku tersebut adalah seperti orang yang ingin menyeberang lautan atau melalui padang sahara sedangkan dia tidak mempunyai pengalaman untuk melakukannya. Dalam keadaan seperti ini ia harus mempunyai seorang pembimbing yang memberikan bimbingan kepadanya, kalau tidak pasti ia akan celaka kecuali ia mendapat rahmat dari Alloh. Dalam rangka memberikan bimbingan kepada para pemula dalam menuntut ilmu dan kepada kaum muslimin secara umum mengenai buku yang harus dibaca, maka saya tulislah bab ini. Dan bab ini insya Alloh akan mencakup 3 pasal, yaitu:

1. Pasal I : Nasehat-nasehat untuk para penuntut ilmu syar’iy.
2. Pasal II : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkat pertama.
3. Pasal III : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan kedua dan ketiga.

Wabillaahi ta’aala At Taufiiq.

PASAL I :
Nasehat-nasehat untuk para penuntut ilmu syar’i

Pasal ini terdiri dari 6 masalah, yaitu:
1. Nasehat-nasehat di dalam menuntut ilmu secara umum.
2. Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai.
3. Macam-macam ilmu syar’i.
4. Tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan dalam belajar.
5. Ciri-ciri buku yang bagus.
6. Nasehat-nasehat khusus bagi orang yang belajar dari buku.

Masalah pertama: Nasehat-nasehat di dalam menuntut ilmu secara umum.

1. Ditinjau dari hukum mempelajarinya, ilmu yang wajib dipelajari itu ada 2 macam:
a. Fardlu ‘Ain : Wajib bagi setiap muslim yang telah baligh dan berakal, laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak. Ilmu yang semacam ini tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya, selama ia ada jalan untuk itu meskipun harus rihlah dan pergi ke tempat yang ada orang yang bisa mengajarinya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam pembahasan masalah (wajib untuk rihlah (bepergian) untuk terjadi sesuatu) pada “Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Mustafti (orang yang meminta fatwa)”. Juga telah kami sebutkan dalam Bab II dalam buku ini bahwa ilmu yang fardlu ‘ain itu ada 2 macam:

Pertama : Yang wajib bagi seluruh kaum muslimin,
Kedua : Yang wajib bagi orang-orang tertentu sesuai dengan pekerjaan yang ia tekuni atau permasalahan yang ia hadapi.
b. Fardlu Kifaayah : Yaitu selebihnya dari ilmu di atas sehingga mencapai tingkatan ijtihad dalam masalah syari’at. Adapun selebihnya dari ilmu syar’i yang harus dimiliki oleh mujtahid hukum mempelajarinya adalah sunnah dan tidak termasuk fardlu kifayah, dan An Nawawiy menjadikannya sebagai bagian ketiga, sebagaimana yang kami nukil dari kitab beliau Al Majmuu’ dalam Bab II Pasal I

Tujuan dari penyebutan pembagian ini adalah mengingatkan para penuntut ilmu atas wajibnya mempelajari ilmu yang fardlu ‘ain sebelum mempelajari ilmu yang fardlu kifayah.
Sedangkan ilmu yang fardlu kifayah wajib untuk didahulukan yang paling penting daripada yang lainnya. Maka wajib mempelajari 5 ilmu-ilmu ijtihad, tanpa meremehkan ilmu-ilmu yang lainnya, maksud secara syar’i dari mempelajari ilmu yang fardlu kifayah adalah memenuhi kebutuhan umat dari kalangan para mujtahid sebagaimana yang telah diterangkan pada pasal ke-3 Bab ke II, maka tidak boleh mendalami satu pelajaran ilmu dan meremehkan yang lainnya. Dan banyak para ulama yang mengingatkan akan hal ini. Ibnu Muflih Al Hambaliy rh. berkata (Ibnul Jauzy berkata: “Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mempelajari hadits-hadits yang telah lalu akan menghalangi dari belajar ilmu yang diwajibkan untuk mencarinya. Imam Maalik berkata: “Tidak seorangpun yang banyak berkecimpung dengan hadits akan sukses, Ibnul Jauzy berkata: “Ini menunjukkan bahwa apa yang saya sebutkan berupa menyibukkan diri dengan berbagai metode dan istilah-istilah asing akan membuat dia kehilangan ilmu fiqih, lalu beliau menyebutkan banyak perkataan — hingga dia berkata — Dan kebanyakan manusia akhir-akhir ini terlalu mendalam dalam menulis cara-cara menukil lalu kesibukan mereka menyebabkan lalai dari mengetahui (memahami) kewajiban-kewajiban sampai-sampai salah seorang diantara mereka ditanya tentang rukun sholat – dan tidak bisa menjawabnya). (Al Aadaabusy Syariyah, oleh Ibnu Muflih II/122, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah).

1. Al Khotiib Al Baghdaadiy rh. juga menyebutkan dalam kitabnya (Al Faqiih Wal Mutafaqqih) bahwa beliau menulis untuk orang-orang yang mendalami ilmu hadits yang meremehkan ilmu fiqih, sehingga mereka dicela oleh Ahlu Ro’yi (Rasionalis) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih II/71-72). Al Khoth-thoobiy juga menyebutkan yang semisalnya di dalam Muqoddimah bukunya (Ma’aalimus Sunan). Dan Ibnu ‘Abdul Barr juga mengingatkan dalam hal ini di dalam (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi II/171) musibah ini masih ada hingga hari ini pada sebagian orang-orang yang menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu hadits dan Rijaal (sanad).

2. Ikhlas di dalam menuntut ilmu itu hukumnya adalah wajib. Hal itu adalah termasuk ibadah hati dan itu rahasia antara hamba dan RobbNya, Alloh akan menolong penuntut ilmu dan memberi taufiq (petunjuk) kepadanya sesuai dengan keikhlasannya. Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik” (QS. An-Nahl:128).
Hal ini telah dijelaskan dengan rinci pada awal Bab IV (Aadabul Aalim Wal Muta’allim).

3. Hal-hal yang membantu dalam menuntut ilmu telah saya terangkan, khususnya pada Bab IV, di sana telah saya terangkan dengan detil, sedangkan di sini kami sebutkan secara global saja, yaitu diantaranya:
a. Ikhlas, pertolongan yang datang dari Alloh Ta’ala sesuai dengan kadar keikhlasan.
b. Mempersedikit hal-hal yang menyibukkan.
c. Belajar sedini mungkin.
d. Tidak menyia-nyiakan waktu, dan mengatur waktu serta memanfaatkannya dengan sebaik-baik mungkin.
e. Mencari kawan dalam menuntut ilmu.
f. Mengamalkan ilmu dan memerangi hawa nafsu dalam rangka mengamalkannya. Diantara bentuk beramal dengan ilmu adalah bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan memperbanyak amalan-amalan sunnah, makan yang halal, menundukkan pandangan, serta menjaga pendengaran, dan diantara bentuk mengamalkan ilmu juga adalah menyebarkan, mengajarkan dan mendakwahkannya.
g. Bersabar dalam menuntut ilmu itu tidak bisa terelakkan untuk terus melanjutkan belajar dan untuk mencapai pada tingkatan yang tinggi. Alloh Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan diantara mereka kami jadikan sebagai imam yang memberikan petunjuk dengan ajaran kami ketika mereka bersabar dan mereka yakin terhadap ayat-ayat kami” (QS. As Sajdah:24).
Diantara hal-hal yang dapat membantu untuk menumbuhkan kesabaran adalah dengan memahami keutamaan dan urgensi ilmu, khususnya pada zaman kita sekarang, yaitu zamaanul ghurbah (zaman keterasingan).

Masalah kedua: Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai

1. Ilmu adalah memahami sesuatu sesuai dengan hakekatnya dengan pemahaman yang mantap. Sedangkan tidak memahami sesuatu adalah Al Jahlul Basiith (kebodohan yang ringan). Dan memahami sesuatu yang tidak sesuai dengan hakekatnya adalah Al Jahlul Murokkab (kebodohan yang sangat). Memahami sesuatu dengan sedikit condong kepada yang sebaliknya disebut Adh Dhonn. Memahami sesuatu dengan pemahaman yang setara dengan sebaliknya adalah Asy Syakk (ragu-ragu). Memahami sesuatu namun lebih condong kepada yang sebaliknya adalah Al Wahmu.

2. Ilmu Syar’iy adalah: Memahami suatu hukum beserta dalil-dalilnya dari Al Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ yang bisa diterima atau Qiyas yang benar terhadap nash atau ijma’. Hal ini telah dijelaskan pada masalah ke-13 dari Ahkaamul Mustaftiy (hukum-hukum orang-orang yang berfatwa) pada bab ke V. Maka ilmu syar’i pada hakekatnya adalah memahami dalil dan apa-apa yang disimpulkan dari hukum-hukum dan faedah-faedah dengan berbagai macam petunjuk yang berbeda. Dan Alloh telah menamakan Al Qur’an (dan Al Qur’an itu adalah dasar dalil-dalil) dengan ilmu, maka ilmu itu adalah dalil. Alloh Ta’ala berfirman:

فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Maka barangsiapa yang membantahmu tentangnya setelah datang ilmu kepadamu” (QS. Ali-Imron:61).
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
فَلِمَ تُحَآجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمُُ
“Lalu kenapa kalian membantah sesuatu yang kalian tidak ketahui, maka Alloh Subhaanahu Ta’ala mencela orang yang berbicara tanpa dasar ilmu”. (Ali ‘Imroon: 66)

3. Menguasai ilmu, yaitu memahami suatu hukum beserta dalilnya, memahami bantahan-bantahan yang ada padanya dan perkataan orang-orang yang menyelisihi serta bagaimana menjawabnya atau dengan kata lain bahwa menguasai ilmu itu adalah memahami yang benar diantara perkataan yang bermacam-macam dan saling bertentangan. Dan diriwayatkan bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:
أعلم الناس أبصرهم بالحق إذا اختلف الناس
“Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling memahami kebenaran jika manusia saling berselisih”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam Kitab Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi II/43).
Alloh Ta’ala berfirman:

وَلاَيَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّجِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan sebaik-baik penjelasan” (QS. Al Furqon:33).
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka yang bathil itu lenyap” (QS. Al-Anbiya’:18).
Juga firman Alloh:

وَمَآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Dan tidaklah kami menurunkan kepadamu Al-Kitab kecuali untuk menerangkan kepada mereka apa-apa yang mereka perselisihkan di dalamnya” (QS. An-Nahl:64).
Serta firman Alloh:
إن هذا القرآن يقص على بني إسرائيل أكثر الذي هم فيه يختلفون
“Sesungguhnya Al Qur’an ini menjelaskan kepada bani isroil sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya” (QS. An-Naml:76).

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa membantah syubhat-syubhat dan kebathilan adalah merupakan amalan para Nabi AS — sebagaimana terdapat dalam dua ayat pada surat Al Furqoon dan Al Anbiyaa’ — dan para ulama mewarisi mereka dalam hal ini, selain itu ayat-ayat ini juga menerangkan bahwa menampakkan kebenaran pada tempat-tempat yang diperselisihkan adalah merupakan pekerjaan para Nabi AS. — sebagaimana dalam kedua ayat pada surat An-Nahl dan An-Naml — dan para ulama juga mewarisi para Nabi dalam hal ini. Dan bukankah orang yang berilmu ketika menyebutkan suatu hukum beserta dalilnya lalu apabila dibantah (dipertentangkan) dengan dalil yang lain pada masalah yang sama atau dibantah dengan hal yang syubhat dia terdiam (tidak bisa menjawab). Untuk itu Ibnu Taimiyyah rh. berkata: “Orang yang faqih adalah: orang yang mendengar perselisihan di kalangan ulama dan dalil-dalil mereka secara umum, dan dia memiliki pendapat yang rojih dari apa yang dia pahami”. (Al Ikhtiyaroot Al Fiqhiyyah oleh Ibnu Taimiyyah yang disusun oleh Al Ba’liy, cet. Darul Ma’rifah hal. 333).

Ibnu Taimiyyah rh. berkata: “Dan ini adalah sebaik-baik sikap di dalam menerangkan perselisihan. Dia memahami pendapat-pendapat dalam masalah itu, memperhatikan yang benar dari pendapat tersebut, membuang yang bathil, dan menyebutkan faedah-faedah dan manfaat dari sebuah perbedaan (perselisihan) supaya tidak bertambah panjang perselisihan dan perdebatan pada hal-hal yang tidak ada faedah di bawahnya lalu menyibukkan diri dengannya dan pada hal-hal yang lebih penting.
Sedangkan orang yang menyebutkan perselisihan pada suatu masalah namun dia tidak memahami pendapat-pendapat orang-orang di dalamnya maka dia itu kurang sempurna, bisa jadi kebenaran yang dia tinggalkan.

Atau dia menyebutkan perbedaan dan membiarkan begitu saja serta dia tidak memperhatikan pendapat yang shohih maka dia itu juga kurang sempurna.
Apabila dia membenarkan yang tidak benar dengan sengaja maka dia telah sengaja berbuat kedustaan atau karena bodoh maka dia telah melakukan kesalahan.

Begitu juga orang yang meletakkan perselisihan di bawahnya atau menyebutkan beberapa pendapat secara lafadz lalu mengembalikan hasilnya kepada satu atau dua pendapat secara makna, maka dia telah menyia-nyiakan waktu dan memperbanyak sesuatu yang tidak benar, maka dia seperti orang yang memakai baju kebohongan, dan Alloh lah yang memberi petunjuk kepada kebenaran. (Majmuu’ Fataawaa XIII/368).
Inilah ciri-ciri menguasai ilmu.

4. Dan ilmu yang dapat diterima adalah ilmu yang dihafal. Alloh Ta’ala berfirman:
بَلْ هُوَ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankaabut:49).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berilmu itu adalah mereka yang ilmunya berada di dalam dada mereka. Inilah yang dimaksud dengan menghafal.

Sebagian para salaf berkata: “Bukanlah orang yang berilmu apabila ilmu itu tidak bersama pemiliknya ketika masuk ke kamar mandi,” orang yang berkata seperti ini adalah ‘Abdur Rozzaaq Ash Shon’aaniy, pengarang kitab Al Mushonnaf yang wafat pada tahun 211 H, yang dimaksud adalah bahwa dia tidak berilmu kecuali dengan menghafalnya, sedangkan orang yang ilmunya hanya di dalam buku saja, tidak berada di dalam dadanya (hatinya) ini bukan ilmu yang diakui karena apabila bukunya hilang (dengan dicuri atau terbakar atau yang semisalnya) maka hilang pula ilmunya, sebagaimana buku-buku itu tidak dibawa bersamanya apabila memasuki kamar mandi. Apabila meminta ilmu itu datang dan dia berada di kamar mandi (dan ini tidak akan terjadi kecuali bagi orang yang menghafalnya) maka dialah orang alim, apabila tidak maka dia bukan orang yang alim dan penyakit-penyakit (musibah-musibah) yang menghalanginya itu banyak sekali maka harus menghafalnya.

Dan telah kami sebutkan hal-hal yang membantu dalam penghafalan, dalam masalah Adab-Adab Muta’allim pada bab ke IV, diantaranya adalah: konsentrasi (meninggalkan kesibukan yang lain), menyendiri (di tempat tertentu), diulang-ulang (dan ini adalah dasar dalam penghafalan), memahami makna, menulis (artinya menulis maksud dari hafalannya), mengulang-ngulang yang sudah dihafal di setiap waktu, mengajarkannya (dan itu termasuk diantara bentuk pengulangan) dan bergaul dalam menuntut ilmu serta belajar sejak kecil dua hal yang membantu dalam menghafal.

5. Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai — hal itu berdasarkan kata pengantar yang telah lalu — adalah:
a. Memahami hukum beserta dalilnya, baik hanya satu dalil ataupun beberapa dalil.
b. Memahami bantahan-bantahan dan pendapat-pendapat yang bertentangan serta syubhat-syubhat yang terdapat dalam hukum itu serta bagaimana cara menjawabnya, dengan ini semua pendapat yang kuat akan terpisah dengan pendapat yang lemah dengan dalil-dalil.
c. Menghafal ini semua.
Berdasarkan hal ini maka hendaknya bagi penuntut ilmu untuk betul-betul berusaha untuk memenuhi ketiga sifat ini pada ilmu-ilmu yang dipelajarinya, dan tidak boleh fanatik kepada satu madzhab, atau orang, atau kelompok atau jama’ah bahkan tidak boleh kepada apapun kecuali kepada kebenaran yang diturunkan oleh Alloh kepada Rosululloh SAW. Sesungguhnya Alloh Subhaanahu wa Ta’ala pasti akan meminta pertanggung jawaban tentang sambutannya kepada Rosul SAW bukan sambutannya kepada madzhab atau syaikh atau kelompok. Alloh Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَآ أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ {65} فَعَمِيَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَنبَآءُ يَوْمَئِذٍ فَهُمْ لاَيَتَسَآءَلُونَ {66} فَأَمَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَن يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ {67}
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Alloh menyeru mereka seraya berkata: “Apakah jawabanmu kepada Rosul? Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, karena itu mereka tidak saling tanya menanya. Adapun orang-orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal-amal yang sholeh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung” (QS. Al Qoshosh:65-67).

Masalah ketiga:
Ilmu Syar’i itu terbagi menjadi 3 bagian: ilmu-ilmu dasar (Al ‘Uluum Al Ashliyyah), Al ‘Uluum Al Mustanbathoh minal ‘Uluum Al Ashliyyah (ilmu yang disimpulkan dari ilmu-ilmu dasar) dan Al ‘Uluum Al Wasaa-il (ilmu-ulmu alat) yang digunakan untuk mendapatkan Al ‘Uluum Al Mustanbathoh (ilmu-ilmu hasil kesimpulan) dari Al ‘Uluum Al Ashliyyah (ilmu-ilmu dasar).

1. Sedangkan Al ‘Uluum Ashliyyah atau Al Asaasiyyah (dasar), adalah:
a. Al Qur’an
b. As Sunnah (atau ilmu hadits dari sisi periwayatan, yaitu: apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan/perbuatan/penerapan atau sifat.
Al Qur’an dan As Sunnah inilah dasar ilmu syar’i. Alloh Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Maka apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Alloh dan Rosul” (QS. An-Nisa’:59).
Artinya kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan ijma’, Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Sedangkan dasar ilmu adalah Al Qur’an dan As-Sunnah” (Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi II/33).
2. Al ‘Uluum Al Mustanbathoh (ilmu hasil kesimpulan), yaitu ilmu-ilmu yang disimpulkan dari — atau yang terbangun di atas — ilmu-ilmu dasar (Al Qur’an dan As-Sunnah) dengan dalil yang bermacam-macam terhadap nash-nash. Yang termasuk Al ‘Uluum Al Mustanbathoh adalah:
a. ‘Aqidah (yaitu masalah-masalah ‘ilmiyah dan khobariyyah yang disimpulkan dari dalil-dalilnya secara terperinci/detail).
b. Fiqh (yaitu hukum-hukum syar’iy yang bersifat ‘amaliyyah (amalan / perbuatan) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya secara detil.
c. Ar Roqoo-iq: yaitu ibadah-ibadah hati dan adab-adabnya.
d. Al Aadaabus Syar’iyyah (Adab-adab Syar’iy), yaitu adab-adab anggota badan.
e. Al Adzkaar Wal Ad’iyah (Dzikir-dzikir dan doa-doa), yaitu ibadah-ibadah lisan).
3. Uluumul Wasaa-il (ilmu-ilmu alat), ilmu-ilmu ini dinamakan dengan Al ‘Uluum Al Wasaa-il karena:
a. Merupakan alat atau sarana untuk mengoreksi kebenaran ilmu-ilmu yang dasar dan memahaminya sebagaimana para sahabat memahaminya, maka tajwid dan tafsir adalah ilmu untuk membaca Al Qur’an dan untuk memahaminya dengan cara yang benar, dan ilmu mustholahul hadits adalah sarana untuk membedakan antara hadits yang diterima dan yang ditolak.
b. Karena ilmu-ilmu ini juga merupakan sarana untuk memperoleh Al ‘Uluum Al Mustanbathoh — seperti fiqh — dari ilmu-ilmu yang dasar, maka dia sebagai cara untuk menghasilkan ilmu dari ilmu juga.
Dan ilmu-ilmu wasail ada 4 macam:
a. ‘Uluumul Qur-aan (ilmu Al Qur’an), diantaranya adalah Tajwid, Tafsir, Ghorib, Asbabun Nuzul, Nasikh dan Mansukh, dll. As Suyuuthiy di dalam kitabnya (Al Itqoon), menyebutkan hingga ada 80 cabang ilmu di dalam ‘Uluumul Qur-aan.

b. ‘Uluumul Hadiits (ilmu hadits) atau ilmu hadits diroyatan (mengenai sanad hadits) atau disebut dengan Mustholahul Hadiits, diantaranya (macam-macam hadits yang berbeda-beda, Ghoriibu Al Ma’aajim, Syuruhul Hadits, ‘Ilmu Rijaal (memahami perowi) beserta cabangnya: Tawaariikhur Ruwaat (sejarah para rowi) dan Jarh wa Ta’diil). Ibnu Sholaah telah menyebutkan hingga terdapat 65 macam ilmu hadits di dalam (muqoddimahnya). As Suyuuthiy berkata — di dalam kitab Tadriibur Roowiy — ilmu itu mungkin lebih banyak lagi dengan berbagai macam cabang-cabangnya.

c. ‘Uluumul Lughoh Al ‘Arobiyyah (ilmu bahasa Arab) yaitu: Nahwu, Shorof, Balaaghoh (seni bahasa Arab), Lughoh (bahasa), dan Adab (sastra bahasa Arab).

d. Ushuulul Fiqh (yang membuat hukum, dalil-dalil hukum — al mahkuum bihi (sesutu dijadikan landasan hukum) — methode istinbaath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil, al mahkuum fiihi (sesuatu yang dihukumi), al mahkuum ‘alaihi (sesuatu yang terkena hukum) dan apa-apa yang menghalanginya dari hukum.
Ilmu-ilmu ini — Al ‘Uluum Al Wasaa-il — tidak dibutuhkan oleh orang-orang awam, karena ilmu ini bukan termasuk fardhu ‘ain, akan tetapi dibutuhkan oleh penuntut ilmu yang berusaha mencapai tingkatan dapat berijtihad di dalam syariah karena hal itu merupakan sarana-sarana untuk berijtihad.

Al ‘Uluum Al Wasaa-il (ilmu-ilmu alat) ini disusun/diterapkan setelah masa para sahabat ra, karena mereka tidak membutuhkan ilmu-ilmu itu pada hakekatnya tujuan para ulama menetapkan ilmu-ilmu itu (‘Uluumul Qur-aan, Mustholahul Hadiits, Qowaa’idul Lughoh dan Ushuulul Fiqhi) adalah agar orang yang alim (berilmu) dapat memahami nash-nash sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat lalu mengikutinya dan tidak menyimpang darinya. Dengan inilah dien ini terjaga dari perubahan, penyelewengan serta berjalan di atas manhaj lain selain manhaj yang pertama, apabila mereka melakukan semua itu maka mereka akan mendapat petunjuk namun apabila tidak mereka akan tersesat. Ibnu Katsiir rh. berkata (‘Umar berkata kepada Ibnu ‘Abbaas: “Bagaimana mereka bisa berselisih padahal ilah mereka sama, kitab dan agama mereka sama? Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang tidak bisa memahami Al Qur’an sebagaimana kita memahaminya, maka mereka berselisih di dalamnya, apabila mereka berselisih di dalamnya mereka akan saling membunuh. Lalu ‘Umar bin Khoth-thoob mengakui /menerima hal itu”. (Al Bidaayah Wan Nihaayah VII/276). Maka fitnah dan kerusakan itu terjadi karena ketidakmampuan dalam memahami nash-nash (Al Kitab dan As Sunnah). Sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat lalu terjerumus kepada hal-hal yang baru di dalam agama dan akibat-akibatnya berupa perselisihan dan perpecahan, atas dasar hal ini maka para ulama’ menetapkan ilmu-ilmu wasail sebagai pengontrol dalam memahami nash-nash Al Kitab dan As Sunnah dan sebagai pengontrol kesimpulan darinya.

Diantara perkataan yang menerangkan pentingnya ilmu wasail dalam menjaga diin adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ady Al Jurjaaniy rh. di dalam kitabnya Al Kaamil Fii Dhuaafaa’ir Rijaal, dia berkata: “Kami diberitahukan oleh ‘Abdulloh bin ‘Abbas Ath Thoyaalisy, beliau berkata: “Saya mendengar Hilaal bin ‘Alaa’ berkata: “Alloh memberi karunia kepada umat ini dengan 4 hal, dan kalau bukan karena 4 hal ini manusia pasti akan celaka/hancur; Alloh memberi karunia kepada umat dengan Imam Asy Syaafi’iy, sehingga nampak jelas mana yang mujmal (global) dan mana yang mufassar (terperinci), mana yang khoos (khusus) dan mana yang ‘aam (umum), yang naasikh (yang menghapus) dari yang mansuukh (yang terhapus), dan kalau bukan karena beliau maka manusia akan celaka. Alloh memberi karunia kepada mereka dengan Ahmad bin Hambal seingga beliau bersabar dalam ujian dan siksaan maka orang lain melihat kepadanya, lalu juga bersabar, dan mereka tidak mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, dan kalau bukan karena beliau manusia akan celaka. Lalu Alloh memberi karunia kepada mereka dengan Yahya bin Ma’iin hingga nampak jelas orang-orang yang lemah dari orang-orang yang tsiqot, dan kalau bukan karena beliau maka manusia akan celaka, dan Alloh memberi karunia kepada umat dengan Abu Ubaid hingga beliau dapat merinci hadits-hadits Rosululloh SAW yang ghoriib, dan kalau bukan karena beliau manusia akan celaka. (Al Kaamil Fii Dhu’afaa-ir Rijaal I/119, cet. Darul Fikir th. 1409 H).

Dan juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Ady dari Muhammad bin Siiriin, beliau berkata: “Telah datang suatu masa dan tidak pernah ditanyakan tentang isnad hadits hingga terjadi fitnah, maka ketika terjadi banyak fitnah ditanyakanlah tentang sanad hadits untuk dilihat siapakah yang termasuk ahlus sunnah sehingga diambil haditsnya, dan siapakah yang termasuk ahli bid’ah sehingga ditinggalkan haditsnya. (Al Kaamil Fii Dhu’afaa-ir Rijaal I/121). Yang dimaksud dengan fitnah adalah munculnya kelompok-kelompok sesat dan membuat hadits-hadits yang dusta terhadap Rosululloh SAW.

Ibnu ‘Ady berkata: “Ibnul Mubaarok berkata: “Sanad itu adalah termasuk dari bagian agama, kalau bukan karena sanad ini pasti orang-orang akan berkata sesuka hatinya” (ibid I/121).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berbicara mengenai penetapan para ulama tentang ilmu-ilmu wasail ini, beliau berkata: “Pendapat mengenai ilmu ini yaitu ilmu Asma’ wa Lughoh (ilmu mengenai nama-nama orang dan bahasa), sesungguhnya tujuan memahami Nahwu dan bahasa adalah sebagai sarana yang menghantarkan dia untuk memahami kitab Alloh dan Sunnah RosulNya, dll, dan supaya seseorang dapat berbicara seperti perkataan orang-orang Arab, sedangkan para sahabat tidak membutuhkan ilmu Nahwu, namun orang-orang setelah mereka membutuhkannya, maka perkataan-perkataan mereka di dalam masalah tata — bahasa Arab — seperti itu tidak terdapat pada zaman sahabat. Hal ini karena kelemahan (kekurangan) mereka dan kesempurnaan para sahabat. Begitu juga perkataan mereka tentang nama-nama orang dan berita-berita mereka — yang tidak terdapat pada masa para sahabat, karena wasilah-wasilah ini dibutuhkan oleh selain para sahabat, begitu juga banyak penelitian-penelitian dan pembahasan-pembahasan yang dibutuhkan oleh orang-orang mutaakhirin — namun tidak dibutuhkan oleh para sahabat.
Begitu juga terjamahan Al Qur’an bagi orang-orang yang tidak memahami bahasa Arab, dia membutuhkan kepada bahasa dia, seperti Persi, Turki, Romawi (Eropa). Namun para sahabat adalah orang-orang Arab yang tidak membutuhkan hal itu.

Begitu juga banyak Tafsir yang Ghorib (hal-hal yang asing) dibutuhkan oleh banyak manusia, namun para sahabat tidak membutuhkan hal itu.
Maka barang siapa yang menjadikan ilmu nahwu, ma’rifaturrijal, istilah-istilah ilmiyah dan dialektik yang membantu untuk penelitian dan diskusi, sebagai tujuan ilmu yang utama, maka dia telah beranggapan bahwa dirinya lebih pintar daripada para sahabat. Sebagaimana banyak yang dikira oleh orang-orang yang bashirohnya (pandangan hatinya) dibutakan oleh Alloh. Dan barang siapa yang memahami bahwa hal itu sebagai tujuan antara/saran untuk ilmu yang lainnya dia mengetahui bahwa para sahabat yang mengetahui maksud ilmu-ilmu wasail ini lebih utama daripada orang-orang yang tidak mengetahui seperti mereka mengetahui maksud-maksud ilmu-ilmu ini, walaupun dia mahir/pandai dalam Al ‘Uluum Al Wasaa-il.” (Minhaajus Sunnah An Nabawiyyah, Ibnu Taimiyyah, ditahqiiq oleh DR. Muhammad Rosyaad Saalim, cet. 1406 H VIII/205-206).

Demikianlah, dari maksud disebutkan macam-macam ilmu syar’i di sini ada beberapa hal diantaranya:
1. Supaya penuntut ilmu mengetahui kedudukan setiap macam ilmu dan tujuannya, lalu setiap ilmu itu diberikan hak-haknya tanpa berlebih-lebihan dan menguranginya. Maka tidak sah (benar) seorang pelajar mendalami pelajaran ilmu mustholah atau ilmu rijal namun dia belum pernah sama sekali menghafal salah satu kitab dari Kutubus Sittah (kitab yang enam). Karena sesungguhnya ilmul mustholah itu tujuan untuk yang lainnya sedangkan ilmu sunnah (secara periwayatan) adalah maksud sebenarnya.

2. Supaya penuntut ilmu mengetahui bahwa ilmu-ilmu wasail adalah termasuk sarana untuk berijtihad dan istinbaath (mengambil kesimpulan), sehingga orang awam tidak harus memahaminya, karena tujuan yang harus diketahui oleh orang-orang awam dengan ilmu ini adalah mengetahui bahwa di sana ada hadits-hadits shohih yang dapat dijadikan hujjah (dalil) dan yang lain ada hadits dho’iif (lemah) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), ini dalam masalah ilmu mustholah, sedangkan dari masalah ushul fiqh orang-orang awam tidak harus mengetahuinya kecuali lima macam hukum syar’i taklifi — yaitu wajib, manduub, mubaah, makruh dan haram —. Inilah yang harus diketahui oleh orang-orang awam. Dan kami membagi buku-buku yang kami anjurkan untuk dipelajari yang insya Alloh akan kami sebutkan menjadi 3 tingkatan tahapan belajar:

• Tingkatan pertama: khusus bagi orang-orang awam dan tidak sama sekali disebutkan di dalamnya sesuatupun dari ilmu-ilmu wasail kecuali apa yang kami singgung di atas berupa ilmul mustholah dan ushul fiqh.
• Tingkatan kedua : khusus untuk penuntut ilmu yang masih pemula, di dalamnya kami sarankan untuk mempelajari ringkasan-ringkasan ilmu-ilmu wasail yang bermacam-macam untuk mengetahui istilah-istilahnya.
• Tingkatan ketiga : khusus bagi penuntut ilmu yang sudah senior, di dalamnya kami anjurkan untuk mempelajari secara detail ilmu-ilmu wasail yang bermacam-macam untuk dapat menghasilkan ijtihad.
Inilah hal-hal yang berkenaan dengan macam-macam ilmu syar’i.

Masalah ke empat: Tingkatan-tingkatan belajar.

Yang lalu telah kami ingatkan akan pentingnya bertahap dalam menuntut ilmu. Hal ini terdapat pada bagian ketiga dari Adab-Adab Muta’alim di dalam pasal ketiga dan bab ke IV, dan penyebutan kami di sana bahwa tahapan-tahapan itu dibutuhkan dalam kuantitas dan kualitas supaya penuntut ilmu (pelajar) mengetahui apa yang dia capai dan tidak terputus.

Kami katakan bertahap dalam kuantitas, artinya hendaknya penuntut ilmu mempelajari ukuran kemampuan yang dimiliki oleh akal dan usahanya, sedangkan bertahap di dalam kualitas adalah senantiasa menjaga urutan yang benar di dalam mempelajari berbagai ilmu maka jangan mempelajari suatu ilmu jika belum mempelajari mukaddimahnya (pendahuluannya) dan jangan mempelajari suatu kitab secara detil apabila belum membaca sedikitpun dari ringkasannya.

Alloh Ta’ala telah mengingatkan akan pentingnya bertahap didalam belajar, yaitu dalam firman Alloh Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
“Dan orang-orang kafir berkata: “Mengapa Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja! Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al-Furqon:32).
Dan firman Alloh Ta’ala:
وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث و نزلناه تنزيلا
“Dan Al Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian” (QS. Al Isroo’:106).

Alloh SWT tidak menurunkan Al Qur’an kepada Nabi SAW secara sekali turun saja, namun dipisah-pisahkan lalu diturunkan secara bertahap selama 23 tahun sedikit demi sedikit, supaya dapat meneguhkan hati. Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr rh. berkata: “Mencari ilmu itu ada tingkatan-tingkatan, tahapan-tahapan dan urutan-urutan yang tidak boleh dilanggar, barang siapa yang melanggar semuanya maka dia telah melanggar (menyeleweng) dari jalan para salaf rhm, dan barangsiapa yang melenceng (melanggar) jalan mereka dengan sengaja maka dia telah sesat dan barangsiapa yang melenceng dari jalannya dengan sungguh-sungguh maka dia telah tergelincir “. (Jaami’ul Bayaanil iIlmi II/166).

Karena adanya tahapan didalam menuntut ilmu dengan kepentingan ini maka kami menjadikan buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari menjadi 3 tahapan insya Alloh setiap tingkatannya sesuai dengan kelompok tertentu dari kaum muslimin sebagaimana 3 tingkatan ini sesuai dengan 3 tahapan di dalam menuntut ilmu.
Kami jadikan tingkatan pertama khusus bagi orang-orang awam, ini artinya akan meliputi penjelasan tentang fardlu ‘ain dari ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim.
Sedangkan pada tingkatan kedua khusus bagi para penuntut ilmu yang masih pemula, termasuk di dalamnya kebanyakan para pemuda yang beragama yang sedang melakukan belajar ilmu syar’i pada hari ini.
Dan pada tingkatan ketiga untuk penuntut ilmu yang sudah lama (senior) yang khusus (spesialisasi) yang berusaha untuk mencapai tingkatan dapat berijtihad dalam syariat.
Tambahan keterangan, untuk para penuntut ilmu pada tingkatan kedua wajib untuk memulai belajar dengan mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama, sebagaimana penuntut ilmu pada tingkatan ketiga harus memulai belajar dengan mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama kemudian kedua. Inilah tuntunan untuk bertahap dan bertingkat-tingkat.

Masalah ke lima: Ciri-ciri buku yang bagus

Diantara ciri-ciri buku yang bagus adalah :
1. Hendaknya penulis kitab dari ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah.
Hal itu supaya penuntut ilmu — khususnya pemula — selamat hatinya dari bergantung dengan sesuatu perkataan yang bid’ah lalu meyakini bahwa hal itu adalah benar karena dia percaya kepada pengarang, padahal dia tidak tahu bahwa pengarang tersebut melakukan penyimpangan dan kesesatan. Dari hal inilah para ulama masih saja memperingatkan dari misalnya Tafsiir Al Kasy-syaaf oleh Az Zamakhsyariy, karena dia membela madzhab mu’tazilah dalam tafsir itu yang kadang-kadang secara eksplisit, sampai-sampai Siroojud Diin Al Balqiiniy berkata: “Dan dia adalah termasuk salah satu gurunya Imam Ibnu Hajar, beliau berkata: ”Sesungguhnya dia menguraikan/menjelaskan paham mu’tazilah dari buku Al Kasy-syaaf dengan penuh perdebatan.

Sedangkan ulama-ulama Ahlus Sunnah adalah seperti para pengarang Kutubus Sittah dan yang lainnya yang telah disebutkan oleh Al Laalikaa-iy di dalam tingkatan orang-orang dan berbagai macam kota pada juz awal dari kitabnya Syarhu I’tiqoodi Ahlis Sunnah, diantara mereka adalah Ibnu Qudaamah, Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya seperti Ibnul Qoyyim, Al Haafidh Adz Dzahabiy dah Ibnu Katsiir serta yang lainnya rhm. semuanya.

Apabila penuntut ilmu memerlukan pendalaman pada beberapa ulama’ yang memiliki perbedaan-perbedaan dengan ahlus sunnah pada beberapa masalah seperti Ibnu Hazm, Al Qoodliy ‘Iyaadl, Al Qurthubiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar rh. maka hendaknya penuntut ilmu mengetahui dengan jelas perbedaan-perbedaan mereka, seperti ta’wil di dalam masalah sifat dan irjaa’ (paham Murji-ah) dalam masalah iman.
2. Hendaknya penulis kitab ahli (spesialis) dalam bidangnya.
Alloh Ta’ala berfirman:
وَلاَيُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir:14).
3. Kitab (buku) yang ditulis oleh orang yang faqih (ahli fiqih) itu lebih baik daripada kitab yang ditulis oleh orang yang tidak berkecimpung dalam masalah fiqh.
Sampai walaupun bukunya bukan dalam masalah fiqh, keistimewaan apa yang ditulis oleh para fuqoha’ adalah lebih simpel (ringkas) dan runtut ketika menjadi pertentangan dalam hukum-hukum baik yang jauh maupun yang dekat. Inilah perbedaan yang paling utama antara buku-buku para salaf yang kebanyakan adalah para fuqoha’ dengan buku-buku yang ditulis oleh orang-orang masa kini yang kebanyakan tidak berkecimpung dalam masalah fiqh, maka kadang-kadang mereka mendatangkan kebodohan dan keanehan-keanehan yang menyelisihi nash-nash dan ijma’.
4. Buku yang disebutkan pendapat-pendapat beserta dalilnya itu lebih baik daripada yang tidak disebutkan dalil-dalilnya.
Hal itu karena seorang penuntut ilmu berlatih untuk mengikutinya, dan supaya tidak menerima suatu pendapat kecuali disebutkan dalilnya, supaya seorang penuntut ilmu terlepas belenggu taqlid (ikut-ikutan) yang telah kami sebutkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan kecuali kalau memang benar-benar tidak dapat menyebutkan pendapat beserta dalilnya.
5. Buku-buku yang disebutkan pendapat yang roojih (kuat) dari yang marjuuh (lemah) itu lebih baik daripada buku yang menyebutkan pendapat secara lepas (umum) dan membiarkan penuntut ilmu di dalam kebingungan dan tidak tahu pendapat mana yang harus dikerjakan? Dan telah kami sebutkan dalam adab-adab pada pasal pertama dari bab ke V bahwa seharusnya seorang mufti tidak boleh membiarkan mustaftiy (orang yang meminta fatwa) dalam kebingungan bahkan wajib bagi dia untuk mengeluarkan dia dari kebutaannya (ketidaktahuannya).
6. Termasuk kitab (buku) yang bagus adalah hendaknya mengandung sebagian besar permasalahan yang terdapat dalam bidang ilmu tersebut, sehingga tidak membutuhkan kepada kitab-kitab selainnya.
7. Buku yang telah ditakhriij hadits-haditsnya dan hukum-hukumnya dengan keterangan derajat haditsnya lebih baik daripada buku-buku yang masih memerlukan untuk ditakhriij, supaya penuntut ilmu itu mengetahui tingkat kekuatan dalil dan sejauh mana dalil itu bisa dijadikan hujjah.
Inilah ciri-ciri utama buku yang bagus menurut saya dan Alloh lebih mengetahuinya, selain itu ditambah dengan cetakan dan penerbitan yang bagus sehingga mudah untuk ditelaah, karena sesungguhnya kemudahan itu dibutuhkan (diperlukan) secara umum.
Dan mungkin sangat tepat di sini akan saya beritahukan kepada penuntut ilmu tentang referensi-referensi ilmiyah yang paling penting:

Referensi-referensi Ilmu Syar’i yang paling penting
Buku-buku syar’i sudah mencapai ratusan ribu bahkan sampai jutaan, padahal umur manusia lebih pendek daripada waktu untuk dapat menguasai kira-kira 10% dari kitab-kitab ini, oleh karena itu kita harus mengetahui buku-buku yang paling utama untuk belajar tentang masing-masing ilmu dari ilmu-ilmu yang penting untuk kita tekuni. Ini akan kami sebutkan pada pasal selanjutnya insya Alloh. Sedangkan buku-buku yang paling utama secara umum adalah:

Pertama kali dalam hal itu adalah menghafal Al Qur’an yang merupakan dasar ilmu-ilmu syar’i dan lughowi (bahasa). Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitab Alloh ‘Azza wa Jalla dan memahaminya, dan setiap ilmu yang membantu untuk memahaminya maka wajib untuk dipelajari. Namun saya tidak mengatakan bahwa menghafal Al Qur’an secara keseluruhan adalah wajib, akan tetapi saya katakan sesungguhnya menghafal Al Qur’an itu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang ingin menjadi seorang ‘Alim bukan kewajiban yang berarti fardlu.” (Jami’u Bayaanil ‘Ilmi II/166-167).
Dan buku yang paling penting setelah kitab setelah Kitab Alloh Ta’ala adalah Shohiih Imam Al Bukhooriy rh.
Sedangkan setelah buku itu sesungguhnya buku-buku ilmu Islam yang paling penting adalah — menurut pendapatku — ada 4, yaitu:

1. Tafsiir Al Qur’anil Adhim karya Al Haafidz Ibnu Katsiir rh. (774 H): inilah buku tafsir yang paling penting dari buku-buku at tafsiir bil ma’tsuur (berdasarkan atsar) dari para salaf, disertai dengan manhaj yang benar dalam penafsiran, yaitu menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an kemudian dengan sunnah kemudian dengan pendapat para sahabat lalu tabi’in sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Muqoddimah (kata pengantar) yang diambil dari (Muqoddimatu Ushuulit Tafsiir) karangan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Katsiir menyusun tafsirnya bersumber dari Tafsiir Ibnu Jariir Ath Thobariy yang disepakati secara mutlak oleh para ulama bahwa Tafsiir Ibnu Jariir adalah tafsir yang terbesar dengan menghilangkan (membuang) sanad-sanad Ibnu Jariir, dan ditambah dengan Tafsiir Ibnu Abiy Haatim Ar Roozy pengarang Al Jarhu Wat Ta’diil) dan dari Tafsir Imam Al Jaliil Ibnu Mardawaih. Maka Tafsiir Ibnu Katsiir itu lebih mencakup buku-buku tafsir, disertai dengan pembelaannya terhadap aqidah para salaf dan mengandung pembahasan-pembahasan fiqh yang bagus. Dan Ibnu Katsiir itu seorang ahli hadits yang faqiih dan salafiy (bermanhaj salaf). Kebenarannya banyak dan kesalahannya sedikit saja dan tafsirnya adalah buku yang paling besar yang sangat membantu dalam memahami Kitab Alloh Ta’ala. Bukunya dicetak dalam 4 jilid.

2. Fat-hul Baariy Syarhu Shohiihil Bukhooriy, karangan Al Haafidz Ibnu Hajar Al Asqolaany rh. (802 H) dan buku itu adalah buku yang paling penting dalam (syarh) penjelasan hadits secara mutlak. Karena setiap babnya mengandung — ditambah dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy — hadits-hadits yang penting yang berkenaan/berhubungan dengan bab itu yang terdapat dalam kumpulan-kumpulan sunnah lainnya, berupa Kutubus Sittah (buku-buku enam hadits), musnad-musnad dan yang lain-lainnya, sebagaimana juga Al Bukhooriy menyebutkan perkataan-perkataan penting yang dikatakan oleh para pensyarah — orang-orang yang lebih dahulu daripada beliau, dan juga menukil perkataan dari pensyarah — kitab-kitab sunnah lainnya seperti Syarh An Nawawiy atas buku Shohiih Muslim, Syarh Al Khitoobiy karangan Sunan Abiy Dawud dan perkataan Al Baghowiy di dalam kitab (Syarhus Sunnah) dll. Juga disertai pembahasan secara terperinci pada masalah-masalah fiqh dan menyebutkan pendapat-pendapat para madzhab di dalamnya dan juga mengandung pembahasan-pembahasan secara bahasa dan masalah-masalah pada Mustholahul Hadits dan Ushul Fiqh. Dan kekurangannya dia mengikuti 2 madzhab Asy’ariyyah mengenai iman dan sifat-sifat Alloh, hal ini akan nampak dengan jelas dalam syarhnya terhadap dua pembahasan yang berjudul Kitaabul Iimaan dan Kitaabut Tauhiid dai dalam Shohiih Al Bukhooriy. Kekurangan ini dapat diketahui dengan memahami madzhab para salaf, sebagaimana juga kesalahannya kadang-kadang semena-mena di dalam membela madzhab Asy Syaafi’iy. Beberapa tempat yang di dalamnya menyelisihi dalil, contohnya, lihatlah penjelasannya pada bab Mas-hur Ro’si Kullihi (mengusap seluruh kepala) dalam Kitaabul Wudhuu’ di dalam Shohiih Al Bukhooriy (Hadits 185). Dan Fat-hul Baariy ini dicetak menjadi 14 jilid termasuk satu jilid untuk muqoddimah (kata pengantar) nya (yang berjudul Hadyus Saariy).

3. Al Mughniy, karangan Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy Al Hambaly (620 H) buku itu adalah Ensiklopedi Ilmu Fiqh yang mengandung penyebutan madzhab-madzhab para ulama dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang setelah mereka dari para madzhab-madzhab Fiqh Al-Arba’ah (4 madzhab Fiqh) dll dan mencakup seluruh masalah-masalah fiqh disertai dengan tarjih (pengambilan pendapat yang paling kuat) diantara pendapat-pendapat yang lain dan penyebutan dalil-dalilnya. Beliau kadang-kadang meroojihkan (menentukan pendapat yang kuat) madzhabnya Al-Hambali dan kadang-kadang menyelisihinya dan tidak semua yang dia roojihkan (tentukan pendapat) adalah benar, untuk membantu dalam membedakan hal ini dengan tarjiih-tarjiihnya Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana yang akan kami sebutkan insya Alloh, Al Mughniy dicetak hanya satu jilid, sedangkan cetakan yang disertai Syarh Al Kabiir ada 12 jilid, dan terdapat daftar isi yang dicetak tersendiri dalam dua jilid yang disusun sesuai urutan abjad yang membantu untuk mencari di dalamnya.

4. Majmuu’ Fataawaa, Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rh (728 H) dikumpulkan dan ditertibkan oleh ‘Abdur Rohmaan bin Muhammad bin Qoasim An Najdiy Al Hambaliy, dicetak dalam 35 jilid ditambah daftar isinya 2 jilid. Hal-hal yang penting dalam buku ini ada 3 hal:

Pertama: mengandung penjelasan yang detil (rinci) oleh madzhab salaf dalam masalah-masalah I’tiqod (keyakinan) yang berbeda-beda/bermacam-macam, disertai dengan penjelasan perkataan-perkataan kelompok-kelompok bid’ah dan kritikannya. Dan telah saya sebutkan pada bab ke IV bahwa Syaikhul Islam telah mengumpulkan apa-apa yang telah ditulis oleh para salaf sebelum beliau dalam masalah I’tiqod (keyakinan) dan darinyalah para penulis setelahnya mengambil pendapat dalam masalah keyakinan.
Kedua: banyaknya menyebutkan dalil-dalil syar’i terhadap pendapat-pendapat dan nukilan-nukilannya hingga hal ini menjadi manhaj yang tetap baginya. Telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa saya sarankan untuk banyak-banyak membaca karangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim karena di dalamnya terdapat pelatihan (pelajaran) dalam mengambil pendapat-pendapat dan dalil-dalilnya sehingga manhaj (metode) ini betul-betul tertanam pada diri pelajar (penuntut ilmu) dan di dalamnya terdapat manfaat-manfaat yang besar sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya.

Ketiga: mengandung tarjih (pengambilan pendapat yang kuat) pada sebagian besar masalah-masalah fiqih yang dibicarakan di dalamnya, dan sebagian besar tarjiih (pengambilan pendapat yang kuat)nya benar kecuali sedikit saja yang tidak, dan tarjiih-tarjiih (pengambilan pendapat yang kuat-kuat)nya telah banyak dikumpulkan oleh ‘Alaa-ud Diin Al Ba’liy Al Hambaliy (803 H), dan dijadikan satu dalam kitab tersendiri dengan judul (Al Ikhtiyaaroot Al Fiqhiyyah Min Fataawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah), di dalamnya terkumpul pilihan-pilihannya secara urut terhadap bab-bab fiqh yang sifatnya taqlid, kitab ini sudah dicetak dalam satu jilid yang ditahqiiq (sudah diteliti) oleh Syaikh Muhammad Haamid Al-Fiqiy rh, ceta. Daarul Ma’rifah.

Empat macam buku inilah yang paling penting dalam ilmu-ilmu Islam menurut saya, wallaahu a’lam. Buku-buku ini menempati kedudukan seperti ini karena cakupannya sebagian besar ilmu-ilmu syar’i yang ashliyah (dasar) maupun mustanbithoh (kesimpulan), maka di dalamnya terdapat tafsir, syarh (penjelasan) hadits, fiqh, I’tiqod (keyakinan), roqoiq (adab-adab amalan bathin), adab-adab syar’i, do’a-do’a, siroh (sejarah), Al-Maghozi (peperangan), Al-Manaaqib (Akhlaq-akhlaq — ), dll sehingga orang yang mencapai (meraih) apa-apa yang terdapat dalam buku-buku ini dia tidak akan kehilangan apapun yang termasuk ilmu Islam, dan sehingga seseorang yang ingin membahas suatu permasalahan yang syar’i lalu dia mengumpulkan apa-apa yang terdapat dalam buku-buku ini dia tidak akan kehilangan sedikitpun untuk mengetahui masalah ini pada umumnya, maka dari itu buku-buku ini banyak cakupan ilmunya daripada buku-buku lainnya dan buku-buku lainnya lebih sedikit cakupan ilmunya daripada buku-buku ini.

Untuk itu kami sarankan bagi setiap penuntut ilmu syar’i untuk menguasai 4 buku ini beserta daftar isi buku (daftar isi Al Mughniy, dan Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah).
Akan tetapi bagi penuntut ilmu yang masih pemula — walaupun juga disarankan untuk menguasai marooji’ (referensi-referensi) ini — Namun tidak baik untuk memulai mempelajarinya, maka hendaknya sebelum melakukan hal itu harus ada pengantar dan pendahuluan. Sebagaimana juga harus mempelajari ilmu-ilmu wasail pada tahapan-tahapan tertentu. Dari hal inilah kami menjadikan belajar ilmu syar’iif itu ada 3 tahapan sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya bersamaan dengan mengikuti tahapan-tahapan dalam belajar menjadikan seorang penuntut ilmu mampu untuk mempelajari 4 marooji’ (referensi) ini dan mengambil manfaat darinya. Inilah dan Alloh Maha Pemberi pentunjuk.

Masalah keenam: Nasehat-nasehat khusus berkenaan denganmempelajari buku-buku.

Pada masalah ini saya telah berbicara tentang sesuatu yang lebih detil lagi pada bab ke III, maka lihatlah di sana, akan saya paparkan di sini secara ringkas untuk mengingat kembali; saya katakan wajib bagi para penuntut ilmu untuk berusaha:
• Memahami perkataan yang benar tentang lafadz-lafadz dari nama-nama alam dan istilah-istilah, dll.
• Memahami tempat-tempat berhenti dan bersambungnya apa yang dia baca hingga tidak kehilangan maknanya.
• Memahami makna istilah-istilah ilmu yang dia pelajari, atau madzhab yang dia pelajari.
• Memahami makna (arti) yang dia baca dan hal-hal lainnya yang harus dilazimi (dilakukan) oleh pembaca di dalam memahami sebuah buku dan metode yang serupa untuk mendapatkan hal itu adalah dengan membaca buku Syaikh yang alim atau penuntut ilmu yang senior dan menanyakan kepadanya apa-apa yang musykil (sulit) dipahami oleh penuntut ilmu. Asy Syaathibiy berkata: “Itu adalah arti perkataan orang yang berkata: “Awalnya, ilmu itu berada di dalam dada orang-orang, kemudian berpindah kepada buku maka jadilah kunci-kuncinya itu berada di tangan orang-orang.

Dan kitab (buku) saja tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun kepada penuntut ilmu tanpa ada yang membukanya dari para ulama (Al Muwaafaqoot I/97).
Apabila anda tidak bisa membaca buku melalui Syaikh atau mendengarnya, sesungguhnya hal-hal yang membantu bagi penuntut ilmu untuk memahami materi (isi) buku itu ada 2 hal:
Pertama: untuk tidak mulai mempelajari suatu ilmu dengan mempelajari matan (isinya) atau ringkasan pendeknya, akan tetapi memulainya dengan membaca syarh mutawasith (penjelasan yang sedang, tidak terlalu singkat dan tidak terlalu terlalu panjang), karena matan-matan (isi-isi) dibuat agar dapat dijelaskan isinya oleh para pengajar.

Kedua: untuk banyak-banyak membaca buku-buku yang materinya sama pada waktu yang sama, barangkali ada sesuatu yang tidak jelas pada satu kitab namun mungkin diterangkan dalam buku yang lain.
Termasuk yang kami sarankan juga bagi penuntut ilmu untuk meringkas apa yang dipelajari dari setiap ilmu di dalam daftar (buku catatan) khusus yang di dalamnya disebut program-program judul, masalah-masalah yang paling penting dan dalil-dalilnya secara ringkas, juga disebutkan maroji’nya pada setiap permasalahan berupa nama buku, jilid, nomor hal, dan cetakannya yang memudahkan untuk mengulang kembali atau untuk mencari keterangan yang lebih rinci lagi. Dan buku catatan ini yang disebutkan ringkasan dan maroji’nya (referensi) lebih mudah bagi penuntut ilmu untuk membawanya apabila dia ingin bersafar atau berpindah ke negara lain.
Inilah apa yang kami sarankan bagi penuntut ilmu ketika mempelajari sebuah buku. Dan hanya Allohlah yang dapat memberi hidayah.

PASAL II : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan pertama

Pada tingkatan belajar ini — sebagaimana yang telah kami sebutkan pada pasal sebelumnya — khusus bagi orang awam sebagaimana hal itu dimasukkan pada tahapan pertama di dalam menuntut ilmu bagi tholibul ‘ilmi (penuntut ilmu).
Karena tingkatan ini khusus bagi orang awam, maka hendaknya dibatasi hanya ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain saja, dan tujuan mempelajarinya adalah dapat menguasai ilmu yang wajib bagi setiap muslim.
Dan telah saya sebutkan pada pasal kedua dari buku ke II pada buku ini bahwa ilmu yang fardlu ‘ain terbagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Ilmu yang Fardhu ‘ain untuk orang-orang awam, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh kaum muslimin yang mukallaf (mendapat beban perintah). Pada setiap waktu dan tempat. Inilah bagian yang setelah mengetahuinya wajib pertama kali untuk dilaksanakannya.
2. Ilmu Fardhu ‘ain untuk orang-orang tertentu. Ini adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan apa yang dia tekuni – atau profesi yang dia geluti, maka dalam hal ini kewajiban seseorang berbeda dengan orang yang lainnya.
3. Ilmu-ilmu tentang Ahkamun Nawaazil (hukum-hukum yang terjadi secara insidental). Orang yang menghadapinya hendaknya meminta fatwa tentang itu ketika terjadi, untuk bagian pertama: Ilmu Fardlu ‘ain untuk orang umum.
Dan juga telah saya sebutkan judul-judul penting pada masalah kelima dari pasal kedua dalam bab ke II, kami ulangi lagi di sini secara ringkas, yaitu:

1. Memahami 5 Rukun Islam, diantaranya adalah memahami makna 2 kalimat syahadat.
2. Memahami 6 Rukun Iman.
3. Memahami macam-macam Tauhid dan syarat-syarat sahnya.
4. Memahami hal-hal yang merusak Islam dan sesungguhnya mengingkari thoghut dan macam-macamnya adalah syarat sahnya Islam.
5. Memahami ibadah-ibadah hati yang wajib.
6. Menghafal surat Al-Fatihah, karena hal itu termasuk salah satu rukun sholat.
7. Memahami hukum-hukum Thoharoh (bersuci), sekedar supaya sah thoharohnya bukan untuk berfatwa dalam masalah thoharoh.
8. Memahami hukum-hukum sholat sekedar supaya sah sholatnya bukan untuk berfatwa dalam masalah tersebut.
9. Memahami hukum-hukum puasa sekedar supaya sah puasanya bukan untuk berfatwa dalam masalah tersebut.
10. Memahami hukum-hukum mayyit, yang kadang-kadang menjadi fardhu ‘ain pada suatu waktu.
11. Memahami syarat-syarat wajib zakat, apabila sudah wajib untuk dizakati maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
12. Memahami syarat-syarat wajib haji, apabila sudah wajib untuk berhaji maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
13. Memahami syarat-syarat wajib jihad, apabila sudah wajib untuk berjihad maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
14. Memahami kewajiban-kewajiban dan adab-adab syar’i tertentu.
15. Memahami hal-hal yang diharamkan berupa perkataan dan perbuatan, makanan, minuman dan pakaian dan hal-hal yang diharamkan berupa pekerjaan-pekerjaan maupun usaha-usaha dalam mencari kebutuhan hidup, serta hal-hal yang diharamkan yang lainnya.
16. Memahami kewajiban taubat dari setiap dosa yang nampak maupun tidak nampak dan memahami syarat-syarat sahnya taubat.
Sedangkan buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari oleh seorang muslim dalam tema (permasalahan-permasalahan ini) adalah:

1. Buku Al ‘Aqiidah Al Waasithiyyah oleh Ibnu Taimiyyah, atau buku Lum’atul I’tiqood oleh Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy untuk mempelajari 6 rukun iman.
2. Buku At Tauhiid Haqqullohi ‘Alal ‘Abiid dan buku Al Kasyfusy Syubuhaat Fit Tauhiid serta buku Al Ushuul Ats Tsalaatsah Wa Adillatuhaa. Semuanya karangan Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab. Buku ini untuk memahami makna dua kalimat syahadah, macam-macam tauhid, hal-hal yang merusak Islam dan ibadah-ibadah hati yang wajib.
3. Buku Al ‘Uddah Syarhul ‘Umdah karangan Baha-ud Diin Al Maqdisiy, 624 H, Kitab Al ‘Uddah ini adalah merupakan penjelasan untuk Kitab Al ‘Umdah karya Al Muwaffaq bin Qudaamah Al Hambaliy, 620 H, ini untuk mempelajari hukum-hukum Fiqh yang wajib, yaitu hukum-hukum thoharoh (bersuci), sholat, jenazah, zakat, puasa, haji dan jihad sesuai dengan apa yang kami singgung di atas.
4. Buku Riyaadlus Shoolihin karya An Nawawiy, untuk memahami ibadah-ibadah hati yang wajib (yaitu pada kira-kira 1/5 bagian pertama), mempelajari muharomat (hal-hal yang diharamkan) (yaitu pada kira-kira 1/5 bagian terakhir), mempelajari adab-adab syar’i yang wajib (yaitu bisa pada bagian yang lainnya) dan mempelajari syarat-syarat ribat (yaitu pada awal kitab).
Maka inilah buku-buku penting yang kami sarankan pada tahapan dalam belajar ini. Apabila kita membaginya sesuai dengan jenis-jenis (ciri-ciri) ilmu dan kami tambahkan dengan buku-buku lain yang bermanfaat yang sesuai untuk orang-orang awam, maka pembagiannya seperti ini:
Pertama: pada masalah Aqidah

1. Al ‘Aqiidah Al Waasithiyyah karya Ibnu Taimiyyah, lalu jika memungkinkan untuk dapat membaca keterangannya pada tingkatan ini maka di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak.
2. At Tauhiid Haqqulloh ‘Alal ‘Abiid karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, apabila memungkinkan bisa juga membaca syarhnya pada tingkatan ini maka di dalamnya terdapat banyak kebaikan, dan sebaik-baik syarhnya (penjelasannya) — menurut saya — adalah kitab Fat-hul Majiid Syarhu Kitaabit Tauhiid karya ‘Abdur Rohmaan bin Hasan Alu Syaikh.
3. Kasyfusy Syubuhaat Fit Tauhiid karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab.
4. Al Ushuul Ats Tsalaatsah Wa Adillatuhaa karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab. Buku-buku ini telah kami sebutkan di atas dan ini sangat penting bagi setiap muslim, kami tambahkan:
5. Thath-hiirul Jinaan Wal Arkaan ‘An Darmisy Syirki Wal Kufroon karya Ahmad bin Hajar Alu Buthomiy.
6. Kitab Da’watut Tauhiid karya Syaikh Muhammad Koliil Harroos.
7. Silsilatut Taujiihaat oleh Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainu, ini terbagi menjadi beberapa jilid yang ringkas dan bermanfaat.
8. Risalah Autsaqu ‘Urol Iimaan karya Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, Risalah Hukmu Muwaalaati Ahlil Isyrook karya Syaikh Sulaimaan bin ‘Abdulloh bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, Risalah Sabiilun Najaat Wal Fikaaki Min Muwaalaatil Murtadin Wa Ahlil Isyrook karya Syaikh Hamad bin ‘Atiiq An Najdiy. Risalah- risalah ini adalah risalah yang keenam, kesebelas dan keduabelas dalam Majmuu’atut Tauhiid karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Semua kumpulan risalah-risalah ini sangat bermanfaat jika mudah dalam membacanya, apabila tidak mendapatkannya maka bacalah permbahasan Al Muwaalaat (loyalitas) dan Al Mu’aadaat (permusuhan) pada kitab Al Walaa’ Wal Baroo’ Fil Islaam oleh Muhammad bin Sa’iid Al-Qohthooniy.

Dan pembahasan Al Muwaalaat (loyalitas) dan Al Mu’aadaat (permusuhan) adalah tujuan yang paling penting, yaitu amal praktek dalam mengingkari thoghut dan iman kepada Alloh, artinya dalam masalah aqidah tauhid. Dan kewajiban syar’i bagi setiap muslim yaitu harus berwala’ (loyal) kepada orang-orang mu’min dan membela mereka, dan harus memusuhi, membenci, dan memerangi orang-orang kafir, maka melalaikan pelaksanaan kewajiban ini menyebabkan kepada kerusakan yang besar pada zaman ini, karena banyak orang yang mengaku Islam telah berwala’ (loyal) kepada orang-orang kafir dan memusuhi orang-orang mu’min bahkan sampai menyebabkan kepada kekuasaan orang-orang kafir atas orang-orang mu’min yang tertindas di seluruh penjuru dunia. Mereka menimpakan adzab yang jelek dengan tangan-tangan orang-orang yang mengaku-ngaku Islam. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa barang siapa yang membantu seorang kafir melawan seorang muslim maka dia telah kafir karena pertolongannya ini tanpa memandang apa yang terjadi dengan hatinya, dan akan datang keterangan hukum dalam masalah ini pada pembahasan pelajaran Aqidah di tempat yang lain pada pasal selanjutnya insya Alloh..

Bentuk dalam berwala’ (loyal) dan bermusuhan itu banyak sekali, dapat diketahui dalam buku-buku yang membicarakannya, dan seorang muslim tidak akan dapat melaksanakan kewajiban ini dengan benar kecuali dengan memisahkan orang mu’min dari orang kafir dan ini wajib secara dzatnya. Kami tidak menuntut orang-orang awam (umum) untuk berfatwa dalam masalah ini. Namun masalah ini wajib untuk diperhatikan dalam pikiran-pikiran (otak-otak) mereka ketika bermu’amalah (bersosialisasi) dengan manusia dengan interaksi yang membutuhkan akan pemahaman diin mereka, seperti memahami keadaan para penguasa dan kewajiban-kewajiban yang menjadi cabang-cabangnya, sebagaimana juga dalam permasalahan nikah, jenazah, pewarisan, imam sholat, perserikatan dan persewaan serta yang lainnya. Dan tidak menuntut untuk membelah dadanya untuk mengetahui keadaan, akan tetapi barangsiapa yang bodoh dalam urusannya atau nampak keragu-raguan hendaknya dikoreksi keadaannya, dan seorang yang awam meminta fatwa kepada orang yang berilmu dalam permasalahannya, ini semua termasuk bab wajib berilmu sebelum perkataan dan perbuatan.

Kedua: pada ilmu Al Qur’an
1. Tafsiir Al Jalaalain yang tanpa catatan kakinya, ini adalah tafsir yang ringkasan yang mudah yang sesuai dengan orang-orang awam.
2. Risalah yang membahas tentang tajwid seperti At Tajwiid Al Muyassar oleh Syaikh ‘Abdul Aziiz Al Qori. Hukum-hukum tajwid itu harus didengar langsung dari syaikhnya jika tidak maka dari kaset rekaman yang khusus dalam hal itu ketika tidak bisa langsung.

Ketiga: pada ilmu Hadits
1. Al Arba’un An Nawawiyah yang disertai dengan penjelasan singkat. Apabila seorang yang awam ingin menambah maka hendaknya membaca syarh (keterangan) nya secara terperinci yang telah disempurnakan oleh Ibnu Rojab Al Hambaliy dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam karena di dalamnya banyak mengandung kebaikan.

2. Sedangkan dalam Mustholah Hadits; Maka tidak ada kewajiban bagi seorang yang awam kecuali memahami macam-macam hadits yang diterima dan yang tidak. Karena sesungguhnya orang-orang zindiq dan bid’ah telah membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW dan sesungguhnya ada beberapa perowi hadits yang tidak dapat dipercaya keshohihannya oleh para ulama – Terhadap apa yang dia nukil baik karena cacat sifat adil mereka maupun cacat karena tidak memiliki ingatan yang kuat dalam pernyataan mereka. Dan karena sebab-sebab inilah para ulama membuat kaidah-kaidah hukum terhadap hadits, dan menyusun macam-macam hadits menjadi shohih, hasan dan dlo’iif, untuk yang shohih dan hasan keduanya dapat diterima dan diamalkan sedangkan yang dlo’iif tertolak.

Keempat: pada ilmu Fiqh
1. Kitab Al ‘Uddah Syarhul Umdah karangan Bahaa-ud Diin Al Maqdisiy dan telah saya sebutkan sebelumnya. Atau kitab As Salsabiil Fii Ma’rifatid Daliil karangan Syaikh Shoolih bin Ibrohim Al Bulaihiy, buku itu adalah syarh (penjelasan) untuk matan (redaksi) Zaadul Mustaqni’ karya Syaikh Syariifud Diin Al Hajjaawiy, 968 H, sedangkan buku Zaadul Mustaqni’ adalah Mukhtashor (ringkasan) dari Kitab Al Mughniy oleh Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy 620 H.

Dan kitab As Salsabiil ungkapannya mudah, menyebutkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah, menyebutkan pendapat-pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga pendapat-pendapat yang dipilih oleh muridnya yakni Al Allaamah Ibnul Qoyyim, sebagaimana juga kadang-kadang menunjukkan pendapat-pendapat madzhab lain secara ringkas dan juga menyebutkan pendapat yang kuat (roojih) pada setiap permasalahan yang tidak membuat bingung bagi penuntut ilmu. Buku ini dicetak dalam 3 jilid yang sedang-sedang.
2. Sedangkan Ushul Fiqh — sebagaimana yang telah saya sebutkan pasal yang lalu — seorang yang awam tidak wajib memahaminya kecuali sekedar mengetahui 5 macam Al Hukmut Takliifiy — yaitu wajib, manduub, mubaah, makruuh dan haram, serta maksud dari setiap hukum tersebut —.

Kelima: Ar Roqoo-iq (adab-adab bathin) dan Al Aadaab Asy Syar’iyyah (adab-adab dhohir).
1. Riyaadlus Shoolihiin oleh Imam An Nawawiy.
2. Mukhtashor Minhaajul Qooshidiin karya Ahmad bin Muhammad bin Qudaamah 742 H, buku ini merupakan ringkasan dari buku Minhaajul Qooshidiin karya Ibnul Jauziy dan buku ini ringkasan dari Ihyaa-u ‘Uluumud Diin karya Abu Haamid Al Ghozaaliy. Saya sarankan untuk membaca teks yang sudah ditahqiiq (diedit) dari kitab Mukhtashor Minhaajul Qooshidiin melihat buku itu banyak mengandung hadits-hadits dho’iif (lemah).

Keenam: Al Adzkaar (dzikir-dzikir) dan Al Ad’iyah (do’a-do’a)
1. Al Kalimuth Thoyyib oleh Ibnu Taimiyyah, yang hadits-haditsnya telah ditakhriij oleh Al Arna-uuth.

Ketujuh: Masalah-masalah kontemporer yang harus diketahui hukum-hukumnya.
1. Berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Alloh yaitu dengan undang-undang ciptaan manusia, merupakan kufur akbar, barangsiapa yang membuat undang-undang ciptaan manusia atau yang menerapkan hukum dengan undang-undang ciptaan manusia atau menyeru untuk berhukum dengannya, atau berhukum kepadanya dan ridho terhadapnya, atau membelanya. Mereka semua adalah kafir keluar dari agama Islam. Dan akan datang keterangan yang ringkas untuk dalil-dalil hukum ini dalam tema yang keempat dari pembahasan ke delapan pada pasal selanjutnya, insya Alloh.

Hal ini mengakibatkan larangan beramal berdasarkan undang-undang ciptaan manusia dan larangan memutuskan perkara dengannya dan berhukum kepadanya serta larangan bekerja pada lembaga-lembaga yang menggunakannya sebagai dasar hukum, seperti lembaga pengadilan dan juga larangan melaksanakan apa-apa yang telah diputuskan oleh para hakim.

Sebagaimana juga hal ini berdampak wajibnya mencopot para hakim kafir yang melaksanakan hukum dengan undang-undang ini dan wajib mengangkat para hakim yang muslim yang melaksanakan hukum dengan syariat untuk menduduki jabatan mereka, apabila mengganti hakim yang kafir tidak bisa kecuali dengan perang. Karena dia mumtani’ bisysyaukah wal a’wan (mempertahankan diri dengan kekuatan dan pendukung). Kewajiban memeranginya menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim, karena status hukumnya sama sebagai kafir musuh yang menduduki negeri kaum muslimin. Hukum perang ini adalah fardhu ‘ain yang apabila keadaannya tidak mampu untuk melakukannya wajib melakukan I’daad untuk menegakkannya.
Dan wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui pemimpin negaranya, karena Alloh mewajibkan untuk taat kepada pemimpin muslim dan bersabar terhadapnya walaupun dia bermaksiat, dan karena Alloh mewajibkan untuk mengganti pemimpin kafir dan memeranginya jika bisa menggantinya kecuali dengan peperangan.

Dan bacalah dalam hal ini: Risaalah Tahkiimul Qowaaniin, karya Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh.
2. Demokrasi : yaitu undang-undang ciptaan manusia yang menyelisihi syariat dan dibuat oleh orang-orang kafir, dan konsekuensinya adalah memberikan hak mutlak kepada manusia untuk membuat undang-undang. Hal itu bertolak belakang dengan dienul Islam yang hak membuat syariat adalah Alloh Ta’ala. Maka demokrasi itu merupakan kufur akbar, statusnya sama seperti status undang-undang ciptaan manusia, bahkan hal itu menyelisihi dienul Islam karena melakukan (merefleksikan) kesyirikan yang shorih (jelas) dari segi Rubuubiyah. Alloh Ta’ala berfirman:

اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ
“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Robb selain Alloh” (QS. At-Taubah:31).
Yang dimaksud Rubuubiyah di sini adalah membuat syariat selain Alloh. Alloh Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka berupa dien yang tidak diizinkan oleh Alloh” (QS. Asy-Syuro:21).
Dan setiap sarana-sarana yang digunakan untuk menerapkan demokrasi hukumnya sama, seperti mendirikan partai-partai politik dan membentuk Majlis Perwakilan (Parlemen), ikut serta dengan partai ini atau dalam pemilihan majlis perwakilan dengan mencalonkan diri atau mengikuti pemilu, semua ini merupakan kufur akbar baik orang yang melakukannya atau mengajak dan membujuk manusia untuk melakukannya, atau rela dengannya meskipun dia tidak melakukannya. Karena semua ini termasuk sarana untuk mewujudkan demokrasi yang merupakan dien (agama) orang-orang kafir dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang terjerumus ke dalam hal ini, yang mereka keluar dari dienul Islam dan masuk ke dalam dien kafir selama mereka rela dengan demokrasi dan prasarananya. Walaupun salah seorang diantara mereka sholat dalam satu hari sebanyak seribu rakaat atau dia mengkhatamkan Al Qur’an seratus kali dalam satu hari, dien adalah kafir. Alloh Ta’ala berfirman:

ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون
“Dan tidaklah kebanyakan mereka itu beriman kepada Alloh (kecuali mereka musyrik)” (QS. Yusuf:106).
Dan kajilah kembali apa yang saya sebutkan dari tema ini pada masalah niat di awal bab ke IV dan buku ini dan pada pembahasan ke delapan dari pasal selanjutnya, insya Alloh.
3. Nyanyian-nyanyian cabul dan musik yang menggunakan berbagai macam alat, harom mendengarkannya dan itu merupakan dosa besar karena adanya ancaman yang menyebutkannya, juga diharamkan menyibukkan diri dengannya, menjualnya dan mencari mata pencaharian darinya.

Tidak ada pengecualian dalam musik kecuali ad duff (rebana) untuk menyiarkan adanya pernikahan dan khusus bagi para wanita tidak boleh berbaur dengan para lelaki.
Hal ini bisa dibaca dalam buku Tanziihusy Syarii’ah ‘An Ibaahatil Aghoony Al Kholii’ah karya Ahmad bin Yahya An Najmiy, itu adalah kitab yang simpel namun mencakup seluruh tema permasalahan.
4. Membiarkan jenggot wajib bagi para laki-laki, karena adanya perintah dalam hal itu, dalam hal ini banyak bukunya, yang paling mudah adalah I’faa-ul Lihaa Wa Qosh-shu Syawaarib karya ‘Abdur Rohmaan bin Qosim An Najahi penyusun fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.

5. Menghisap rokok dan cigaret atau dengan mengunyahnya semua itu haram, juga berdagang dan mencari mata pencaharian dengannya adalah haram.
Hal ini dapat dibaca dalam fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh dalam haramnya rokok dan cigaret, dan risalah-risalah semacam itu.
6. Hijaab dan niqoob bagi para wanita adalah wajib, banyak risalah dalam masalah ini, saya akan membicarakannya pada pembahasan ke delapan pada pasal selanjutnya, insya Alloh.

Kedelapan: Kondisi ummat Islam pada hari ini.
Wajib bagi setiap individu muslim untuk mengetahui kondisi alam (dunia) ini, dan kondisi negeri yang dia tinggal di dalamnya karena adanya pemahaman kondisi itu menimbulkan kewajiban-kewajiban syar’iy.
Untuk memahami kondisi negeri yang dia tinggal di dalamnya. Telah kami singgung pada masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, dan masalah demokrasi beserta prasarananya.
Sedangkan memahami kondisi dunia, maka wajib memahami program-program orang-orang kafir dan tipu daya mereka terhadap kaum muslimin, supaya seorang muslim dapat menghindarinya. Alloh Ta’ala berfirman:
وكذلك نفصل الآيات و لتستبين سبيل المجرمنين
“Dan begitulah kami menjelaskan ayat-ayat kami dan supaya kamu memahami jalan orang-orang yang jahat” (QS. Al-An’aam:55).

Begitu juga memahami keadaan kaum muslimin di seluruh dunia supaya dapat menegakkan kewajiban-kewajiban syar’i bagi mereka berupa pertolongan dan bantuan yang memungkinkan, karena kaum muslimin — walaupun mereka dibatasi oleh batasan wilayah politik yang mereka buat-buat — mereka adalah satu ummat (bangsa) dan satu jasad, apabila salah satu anggota badannya sakit maka seluruh anggota badan juga terasa sakit. Oleh karena hal ini, maka orang yang tidak terpengaruh dengan keadaan kaum muslimin di dunia ini bukan termasuk bagian dari tubuh ini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sama sekali tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin? Rosululloh SAW bersabda:

مثل المؤمن في توادهم و تراحمهم و تعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر و الحمى
“Perumpamaan orang mu’min dalam kasih sayang, kecintaan dan kesantunan mereka seperti tubuh, apabila salah satu anggota badannya terasa sakit maka seluruh badan akan merasakan dengan susah tidur dan demam”. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Dan jasad itu adalah umat Islam, maka barangsiapa tidak terpengaruh dengan apa yang menimpa mereka dia bukan termasuk golongan mereka.

Dalam tema permasalahan ini banyak sekali buku-bukunya, kami sebutkan diantaranya sebagai contoh:
1. Maadzaa Khosirol ‘Aalam Bi Inhithoothil Muslimiin, karya Abu Hasan An Nadawiy.
2. Al Mukhoththootul Isti’maariyah Li Mukaafahatil Islaam, karya Muhammad Mahmuud Ash Showwaf.
3. Al Ghoorootu ‘Alal ‘Aalam Al Islaamiy, terjemah Muhibbuddin Al Khotib dan Mursaaid Al Yafi.
4. Qoodatul Ghorbi Yaquuluuna: Dammirul Islaam Wa Abiiduu Ahlahu, karya Jalaal Al Alim.
Dan buku-buku yang semisalnya disertai berita-berita dunia Islam.

Inilah apa yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan pertama dari tingkatan-tingkatan belajar yang syar’i yang khusus untuk orang-orang umum (awam) dari kalangan kaum muslimin, buku-buku ini tidak banyak. Namun kebanyakan orang banyak menyia-nyiakan waktu mereka pada hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan yang membahayakan mereka. Dan Rosululloh SAW telah bersabda:
نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة و الفراغ
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia melalaikannya: kesehatan dan waktu luang” (HR. Al Bukhooriy dan Ibnu ‘Abbaas ra. no. 6412).

Dan manusia membutuhkan orang-orang yang mengingatkan dan membangunkan mereka dari kelalaian mereka untuk kembali menuntut ilmu yang wajib bagi mereka yang di dalamnya terdapat kebahagiaan mereka baik di dunia maupun di akherat, dan hakekat ilmu adalah yang dinamakan “Miftaahu Daaris Sa’aadah” (kunci pintu alam kebahagiaan) sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim rh dalam kitabnya yang beliau namakan dengan nama tersebut. Barangsiapa diantara kaum muslimin ada yang bisa membaca maka silahkan membaca buku-buku ini sendirian atau bersama Syaikh atau bersama seorang thoolibul ‘ilmi (menuntut ilmu) yang sudah dahulu (senior). Dan barangsiapa yang buta huruf tidak bisa membaca, maka hendaknya meminta bantuan kepada orang yang dapat membaca buku-buku ini walaupun harus membayar atau walaupun harus menempuh perjalanan, karena suatu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan dengan sebuah sarana maka sarana tersebut menjadi wajib. Setelah itu yang tersisa adalah tambahan dan peringatan:

Sedangkan tambahannya adalah apa yang telah kami sebutkan pada bab ke III dari buku ini, masalah (Kewajiban Orang Awam Dalam Menyampaikan Ilmu), yaitu bahwa setiap orang-orang yang meraih suatu ilmu yang wajib baginya hendaknya menyampaikannya kepada orang yang tidak mengetahuinya dan mengajarkan kepada keluarga dan anak-anaknya secara khusus, karena Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim:6).
Rosululloh SAW juga bersabda:
كلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته
“Setiap diri kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban (ditanyakan) tentang kepemimpinannya” (HR. Muttafaqun ‘Alaihi).

Sedangkan peringatannya adalah:
Bahwa sesungguhnya buku-buku yang saya sebutkan dalam bab ini atau dalam buku saya ini, bukan berarti penyebutanku tentang buku tersebut atau saranku untuk membacanya merupakan sebuah tazkiyyah (rekomendasi / pujian) saya terhadap pengarangnya atau terhadap seluruh apa yang ditulis oleh pengarang buku tersebut, akan tetapi ini hanyalah merupakan tazkiyyah (rekomendasi / pujian) saya terhadap kitab tersebut. Apabila dalam buku yang saya sarankan untuk membacanya terdapat cacat atau kesalahan yang nampak akan saya peringatkan, insya Alloh.

Beginilah, dan barangsiapa yang sudah selesai mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama tersebut, dan Alloh telah membukakan hatinya untuk menambah dalam menuntut ilmu maka hendaknya segera melanjutkan untuk mempelajari buku-buku pada tingkatan ke dua kemudian ketiga:
ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kepada seseorang dengan kebaikan Alloh akan memahamkan dien kepadanya”.
Dan hanya Allohlah Maha Memberi petunjuk.

Diterjemahkan oleh Muhammad Ar Rohiil
LP Cipinang, 29 Mei 2005, dari kitab Al Jaami’ Fii Tholabil ‘Ilmisy Syariif, Ayaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz VII/1 – 31

Filed under: Nasehat tuk penuntut ilmu, tazkiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut