kaligrafi

kaligrafi

Minggu, 17 Juli 2011

KEMANA HENDAK LARI !

Ainal mafar? Kemana hendak berlari? Meski belum Kiamat, ungkapan dari ayat 10 surat al Qiyamah ini sepertinya cocok diungkapkan hari ini. Bencana datang dari segala penjuru, tak kenal waktu dan datang bertubi-tubi. Lari dari laut yang melabrak dengan Tsunami, gunung menyambut dengan lahar api. Menjauh dari laut dan gunung, gempa bumi dan banjir telah menanti. Jauh dari lempeng tektonik dan banjir, kerusuhan massa, premanisme dan kriminal siap menghabisi. Bahkan saat naik kereta api yang hanya satu jalur dan jadualnya diatur, musibah pembawa maut masih tetap menghampiri.

Negeri ini tak lagi seindah gambaran dalam lagu-lagu kebangsaan atau foto-foto dalam panduan wisata yang tampak begitu permai. Wajah cantik bumi pertiwi, kini berubah seperti wajah yang menyeringai, mengancam dan dipenuhi rasa benci. Ia seperti mengatakan, tak ada kedamaian di sini. Ketidakadilan, kesewenangan, pengkhianatan, perebutan kekuasaan dan kemungkaran menyatu, saling meningkahi, berebut teriak melantunkan elegi berisi nada-nada penuh ironi. Membaur menjadi satu dengan tangisan para pengungsi.

Lihatlah, Wakil rakyat dan pejabat seperti tak pernah bosan menyajikan teater bertema korupsi, suap, penggelapan dana bantuan atau pengadaan barang serta kriminal terselubung, saban hari. Pertunjukan abstrak yang membingungkan karena sering tak jelas siapa lakon siapa musuhnya, juga plot yang ke sana kemari yang entah bagaimana akan diakhiri.

Kalau ada yang bertanya, “Tidakkah mereka lupa pada rakyat yang telah mencoblos atau mencentang nama mereka dengan sepenuh hati dan sepenuh harap agar kemakmuran negeri ini bisa kembali?” Barangkali mereka akan menjawab, “Siapa suruh memilih kami?” kalau ada yang bertanya, “Tidakkah mereka merasa berdosa melanggar dan mempermainkan hukum negara ini?” Barangkali mereka akan menjawab, “Sejak kapan menir-menir Belanda pembuat hukum negara ini menjadi Tuhan hingga berhak memberi dosa dan berhak menghukum kami?”

Melihat mereka, harapan kita menoleh pada penegak hukum yang tegak berdiri, tampak seperti pemuda yang gagah berani. Tapi lagi-lagi hati kita dibuat kecewa, karena mereka sering terlihat lemas saat menghadapi amplop berjejal duit atau rekening berdigit-digit yang melambai-lambai. Penegak hukum dan pengayom masyarakat itu lebih sering terekspos berbuat zhalim daripada melindungi. Pedagang asongan yang melanggar aturan mereka pukuli dengan semangat berapi-api, tapi pejabat tinggi dengan dosa-dosa besarnya tak mereka usik sama sekali. Dengan rendah hati mereka katakan, “Kami hanya pejabat kecil, urusan itu bukan wewenang kami.” Kasus terorisme dapat dikosek hingga sumsumnya bahkan meski dengan indikasi dan bukti seujung jari. Untuk kasus yang memancing gelontoran dana besar dari luar negeri ini, mereka terlihat begitu sakti. Tapi menghadapi mafia hukum, premanisme dan bahkan kriminalitas lokal, rakyat sering kecewa karena kesaktian itu seperti sengaja ditutupi. Karenanya, saat motor atau mobil hilang, atau agar bisnis terjaga aman, tidak sedikit yang lebih memilih ‘lapor’ kepada dedengkot preman daripada ke pos penjaga keamanan, atau yang biasa disebut pos polisi.

Kalau begini, sepertinya kita benar-benar tak memiliki tempat aman untuk berlindung diri di sini. Padahal ini belum Kiamat, karena Dajjal belum datang, juga Isa AS dan Imam Mahdi. Lantas kemana kita hendak berlari? Untung saja, Dzat yang menciptakan kita berfirman, “Fa firru ilallah” larilah kalian menuju Allah, Dzat yang Maha Melindungi. Mohonlah perlindungan-Nya dari keganasan bencana, kesewenangan penguasa dan bahkan keburukan diri sendiri. Dibawah perlindungan-nya, tak akan berbahaya semua makhluk yang ada di langit dan bumi. Wallahul musta’an, wa ‘alaihi kulla tawakuli.(viv)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut