kaligrafi

kaligrafi

Jumat, 06 Mei 2011

Osama bin Ladin

Syeikh Usamah (sangat) tak layak dibenci
Beberapa saat setelah dilansirnya berita tentang terbunuhnya (syahid, insha Allah) Syeikh Osama Bin Laden, media, para tokoh masyarakat, dan pemerintah berusaha menggiring opini bahwa Syeikh Osama adalah tokoh yang wajib dimusuhi dan kita patut bergembira dengan meninggalnya “sang musuh”.
DPR mengingatkan agar pemerintah tetap mewaspadi terorisme pasca-kabar syahid-nya Syeikh Osama bin Laden dengan pertimbangan bahwa terorisme di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
“Benar bahwa Osama adalah inspirator teroris dunia tapi untuk di Indonesia mengarah pada terorisme baru,” kata Wakil Ketua DPR bidang Polhukam Priyo Budi Santoso di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (2/5/2011).
Senada dengan Priyo, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj mengatakan, ”Jangan terlalu larut dalam kegembiraan atas kematian Osama, karena kematiannya tidak lantas membuat radikalisme lenyap dari muka bumi ini,” kata Said Aqil di Jakarta, Senin (2/5).
Menurut Said, radikalisme sudah ada sejak zaman dulu dan akan terus ada. Pasukan Amerika Serikat hanya berhasil membunuh Syeikh Osama, bukan mematikan radikalisme.
“Kita harus tetap waspada, karena radikalisme sudah ada sejak dulu dan akan terus ada. Persoalannya adalah apakah radikalisme itu tumbuh subur atau tidak. Ini tergantung bagaimana kita membendungnya,” katanya.
“Konsistensi dan komitmen menolak radikalisme tidak boleh pudar. Kita tidak boleh berkata lelah untuk menolak ajaran-ajaran radikal,” kata Said Aqil.
Menurutnya, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam membatasi ajaran radikal adalah melalui pendekatan konsititusi, pendekatan sosial, dan pendekatan keamanan sebagai langkah terakhir. “Masyarakat harus diingatkan kembali bahwa Indonesia dengan adat ketimurannya adalah bangsa yang santun dan ramah, jauh dari radikalisme. Begitu pula bentuk negara ini adalah NKRI. Ini sudah final,” katanya.
Para pelajar juga harus diperkuat nasionalismenya dengan menjelaskan arti pentingnya Pancasila sebagai dasar negara.

“Radikalisme” versi siapa?

Manusia memang hanya bisa berkomentar. Para tokoh berbicara tentang jihad, membela agama, dan radikalisme pada saat mereka duduk santai dan merasakan tidur enak di kasur yang empuk. Pernahkah para tokoh agama kita terjun langsung melihat kenyataan di kancah perang Afganistan? Palestina? Dan Chechnya?
Pada dasarnya para tokoh agama kita tak ubahnya dengan komentator sebuah acara televisi. Hanya bisa berkomentar tapi tak pernah bisa mempraktekkan. Apalagi yang dikatakan oleh mereka hanyalah kalimat-kalimat copy paste dari media-media liberal yang memang beragenda menggiring kaum muslimin untuk membenci dan memusuhi saudaranya sendiri.
Mereka berkoar-koar tentang “kejahatan” Syeikh Osama, tetapi pernahkah mereka mengenali pribadi beliau? Syeikh Osama yang berasal dari keluarga jutawan tetapi lebih memilih zuhud dan menyerahkan jiwa raganya untuk jihad dan Islam.
Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Abdullah Azzam dalam ‘The Lofty Mountain’, “Orang-orang Afganistan melihat orang arab layaknya seorang lelaki yang meninggalkan perniagaannya, pekerjaannya dan perusahaannya di Saudi Arabia, atau di teluk Yordania, dan hidup dengan kehidupan roti dan teh basi di puncak-puncak pegunungan. Dan mereka akan melihat Usamah Bin Ladin layaknya seorang lelaki yang telah meninggalkan bisnisnya yang sukses dalam merenovasi masjidil harom milik rosulullah SAW di Madinah untuk saudara-saudaranya hingga ia pun kehilangan bagiannya – 2.5 juta dolar – lalu melemparkan dirinya ke tengah-tengah pertempuran”
Bagaimana dengan para “pemimpin agama” kita? Minimal sudahkan mereka menceraikan dunia? Yang tampak adalah mereka berlomba-lomba mengumpulkan dunia atas nama agama. Sungguh memalukan.
Ketika Syeikh Osama dicap sebagai teroris karena dianggap mendalangi peristiwa 911 yang membunuh ratusan warga Amerika, pernahkan para tokoh agama kita mencap Amerika sebagai teroris (juga) karena membunuhi rakyat sipil di Afganistan, Palestina, dan negara muslim lain yang berdalih “operasi pemberantasan teroris”?.
Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak wanita, anak kecil, dan orang tua yang terzolimi oleh tangan-tangan najis kaum kafir?
Pernahkah mereka menghujat Israel yang berpuluh-puluh tahun melecehkan Al Quds? Sungguh ironis, bukannya menghujat tetapi para tokoh kita ini memuji-muji Israel dan melupakan kebejatannya hanya dikarenakan beasiswa yang disodorkan untuk sekolah di luar negeri.
Semurah itukah keimanan dan kecintaan mereka pada Islam terjual? Menyedihkan, kaum terpelajar, kaum yang notabene “memahami agama” nya malah menjadi orang-orang utama yang menggebosi ummat untuk membenci kebangkitan Islam. (arrahmah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut