kaligrafi

kaligrafi

Minggu, 17 Juli 2011

Denda dalam Kacamata Syariah

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

KEMANA HENDAK LARI !

Ainal mafar? Kemana hendak berlari? Meski belum Kiamat, ungkapan dari ayat 10 surat al Qiyamah ini sepertinya cocok diungkapkan hari ini. Bencana datang dari segala penjuru, tak kenal waktu dan datang bertubi-tubi. Lari dari laut yang melabrak dengan Tsunami, gunung menyambut dengan lahar api. Menjauh dari laut dan gunung, gempa bumi dan banjir telah menanti. Jauh dari lempeng tektonik dan banjir, kerusuhan massa, premanisme dan kriminal siap menghabisi. Bahkan saat naik kereta api yang hanya satu jalur dan jadualnya diatur, musibah pembawa maut masih tetap menghampiri.

Negeri ini tak lagi seindah gambaran dalam lagu-lagu kebangsaan atau foto-foto dalam panduan wisata yang tampak begitu permai. Wajah cantik bumi pertiwi, kini berubah seperti wajah yang menyeringai, mengancam dan dipenuhi rasa benci. Ia seperti mengatakan, tak ada kedamaian di sini. Ketidakadilan, kesewenangan, pengkhianatan, perebutan kekuasaan dan kemungkaran menyatu, saling meningkahi, berebut teriak melantunkan elegi berisi nada-nada penuh ironi. Membaur menjadi satu dengan tangisan para pengungsi.

Lihatlah, Wakil rakyat dan pejabat seperti tak pernah bosan menyajikan teater bertema korupsi, suap, penggelapan dana bantuan atau pengadaan barang serta kriminal terselubung, saban hari. Pertunjukan abstrak yang membingungkan karena sering tak jelas siapa lakon siapa musuhnya, juga plot yang ke sana kemari yang entah bagaimana akan diakhiri.

Kalau ada yang bertanya, “Tidakkah mereka lupa pada rakyat yang telah mencoblos atau mencentang nama mereka dengan sepenuh hati dan sepenuh harap agar kemakmuran negeri ini bisa kembali?” Barangkali mereka akan menjawab, “Siapa suruh memilih kami?” kalau ada yang bertanya, “Tidakkah mereka merasa berdosa melanggar dan mempermainkan hukum negara ini?” Barangkali mereka akan menjawab, “Sejak kapan menir-menir Belanda pembuat hukum negara ini menjadi Tuhan hingga berhak memberi dosa dan berhak menghukum kami?”

Melihat mereka, harapan kita menoleh pada penegak hukum yang tegak berdiri, tampak seperti pemuda yang gagah berani. Tapi lagi-lagi hati kita dibuat kecewa, karena mereka sering terlihat lemas saat menghadapi amplop berjejal duit atau rekening berdigit-digit yang melambai-lambai. Penegak hukum dan pengayom masyarakat itu lebih sering terekspos berbuat zhalim daripada melindungi. Pedagang asongan yang melanggar aturan mereka pukuli dengan semangat berapi-api, tapi pejabat tinggi dengan dosa-dosa besarnya tak mereka usik sama sekali. Dengan rendah hati mereka katakan, “Kami hanya pejabat kecil, urusan itu bukan wewenang kami.” Kasus terorisme dapat dikosek hingga sumsumnya bahkan meski dengan indikasi dan bukti seujung jari. Untuk kasus yang memancing gelontoran dana besar dari luar negeri ini, mereka terlihat begitu sakti. Tapi menghadapi mafia hukum, premanisme dan bahkan kriminalitas lokal, rakyat sering kecewa karena kesaktian itu seperti sengaja ditutupi. Karenanya, saat motor atau mobil hilang, atau agar bisnis terjaga aman, tidak sedikit yang lebih memilih ‘lapor’ kepada dedengkot preman daripada ke pos penjaga keamanan, atau yang biasa disebut pos polisi.

Kalau begini, sepertinya kita benar-benar tak memiliki tempat aman untuk berlindung diri di sini. Padahal ini belum Kiamat, karena Dajjal belum datang, juga Isa AS dan Imam Mahdi. Lantas kemana kita hendak berlari? Untung saja, Dzat yang menciptakan kita berfirman, “Fa firru ilallah” larilah kalian menuju Allah, Dzat yang Maha Melindungi. Mohonlah perlindungan-Nya dari keganasan bencana, kesewenangan penguasa dan bahkan keburukan diri sendiri. Dibawah perlindungan-nya, tak akan berbahaya semua makhluk yang ada di langit dan bumi. Wallahul musta’an, wa ‘alaihi kulla tawakuli.(viv)

Jumat, 15 Juli 2011

JAUHI DAN TINGGALKAN RIBA

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Azza Wa Jalla
Sama dengan kemungkaran besar lainnya seperti pelacuran, perjudian dan minuman keras, riba adalah kemungkaran besar yang usianya seusia sejarah manusia itu sendiri. Tepatnya ketika Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan mukjizat kepada hamba dan kekasih-Nya, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam berupa Isra’ Mi’raj. Pada saat itu pula Allah Ta'ala perlihatkan berbagai kejadian kepada beliau yang kelak akan memimpin jaga raya ini. Salah satu dari peritiwa itu adalah para pemakan riba. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda :

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu?’ Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan ribâ.’” [HR. Bukhari, no. 6525, kitab At-Ta`bir].

Prinsip utama dalam ribâ adalah penambahan. Menurut syariah ribâ berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.” Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. [ QS. Al-Baqarah : 276 ].

Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [QS. Al-Baqarah: 278-279].
Tidak ada satu ayatpun yang isinya pernyataan perang dari Allah dan raul-Nya kecuali ayat ini. Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah serta rasul-Nya dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?!

Allah Ta’ala juga mengancam kepada orang-orang yang suka makan riba. Rasulullah sallahu alaihi wasallam juga bersabda dalam hadistnya :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. [ HR. Muslim, no. 1598 ].
Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Bahkan negara-negara majupun menerima berbagai pinjaman luar negeri yang disebut dengan pinjaman lunak atau bunga rendah. Padahal itu juga termasuk bagian dari riba.
Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semulai hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukum-Nya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
مَا ظَهَرَ فِيْ قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلاَّ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ
“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.” (Lihat Majma’Az-Zawaid, Imam Al-Haitsami, 4/131).
Dan dari bencana yang ditimbulkan karena memakan riba tidak saja hanya sampai di sini, bahkan telah menjadikan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya semakin dangkal yang tidak lain dikarenakan perutnya yang telah dipadati benda-benda haram. Sehingga nasi yang dimakannya menjadi haram, pakaian yang dikenakannya menjadi haram, motor yang dikendarainya pun haram, dan barang-barang perkakas di rumahnya pun menjadi haram, bahkan ASI yang diminum oleh si kecil pun menjadi haram. Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin do’a yang dipanjatkan kepada Allah akan dikabulkan jika seluruh harta dan makanan yang ada dirumahnya ternyata bersumber dari hasil praktek riba.
Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana demi melancarkan rencana-rencana jahat zionis dan acara-acara kristiani lainnya. Mereka banyak membantai umat Islam, namun diam-diam tanpa disadari di antara kita telah ada yang membantu mereka membantai saudara-saudara kita semuslim dengan mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mensinyalir sebuah zaman yang seseorang tidak akan lepas dari riba. Jika ia berusaha untuk meninggalkannya, tetap ia akan mendapat debu riba. Mungkin zaman itu adalah zaman kita ini. Munculnya bank-bank syari’ah ternyata juga belum memberikan solusi, karena transaksi yang kadang tidak sesuai syari’at dan tujuan yang hanya untuk mencari keuntungan tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ ».
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (tatkala) tiada seorang pun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) ribâ. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (ribâ)-nya.” [HR. Ibnu Majah, no. 2278].
Demikian khotbah yang kami sampaikan. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus, jalan para nabi, syuhada’ shalihin dan yang mengikuti mereka.

ROMADHON BULAN AL-QUR'AN

Termasuk dalam salah satu keutamaan bulan romadhon adalah diturunkannya Al-Qur’an di dalam bulan tersebut .
Alloh berfirman dalam QS: Al-Baqoroh : 285


“ Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). “

Makna pertama : diturunkannya Al-Qur'an dari lauh mahfudh ke langit dunia ( Ibnu Abbas )
Makna kedua : Al-Qur’an pertamakali diturunkan kepada Nabi Muhammad Solallohu ‘alaihi wassalam pada malam lailatul qodar
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Ibnu Abbas ( pendapat yang pertama )

Fungsi Al-Qur’an :
Termasuk kenikmatan yang terbesar adalah diutusnya Nabi Muhammad Solallohu ‘alaihi wassalam dan diturunkannnya Al-Qur'an yang karena hal itu manusia menjadi umat yang mulia, yang lebih afdhol.
Hal itu karena Al-qur’an berfungsi bagi umat manusia sebagai :
1. petunjuk bagi manusia / bagi orang yang bertaqwa



Hidayah itu ada 2:
1. Hidayah taufiq wa ‘amal ( orang Mukmin)
2. Hidyah dalalah wal irsyad ( untuk seluruh manusia )
2. penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil

3. Pembeda ( antara yang haq dengan yang batil )

4. Al-Qur’an sebagai ruh

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. ( Asyuraa : 52 )

Kewajiban kita kepada Al-Qur’an :
1. Menjadikan sebagai pedoman hidup
2. Mempelajari ( membaca – mengkajinya )
3. Mengamalkan

Pada bulan Romadhon hendaklah kita meningkatkan interaksi dengan Al-qur’an baik berupa membacanya, mempelajarinya, mengamalkannya.

Setidak-tidaknya kita tingkatkan membaca Al-Qur’an karena ia adalah ruhnya hati semakin banyak hati disentuh dengan Al-qur’an semakin sehat hatinya

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. ( Asyuraa : 52 )
Ketahuilah bahwa kehidupan bagi seorang mukmin ada 2 macam yaitu kehidupan jasad oleh nyawa dan kehidupan hati oleh Al-Qur’an.
Adapun orang orang kafir haya ada satu kehidupan yaitu kehidupan jasad 0leh nyawa dan hatinya mati.

Kadar Membaca Al-Qur’an :
1. Maksimal khatam 3 hari satu kali
2. 7 hari khatan satu kali
3. 10 hari khtam satu kali
4. satu bulan khatam satu kali

Bacalah Al-Qur’an di waktu duduk, berbaring, di atas kendaraan, letika berdiri dan di dalam sholat , maka yang utma adalah membaca Al-qur’an di dalam Sholat

Membaca Al-Qur’an adalah ibadah :
Sabda Rosul :
‘ Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an satu huruf dari kitab Alloh, maka baginya satu pahala kbaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu stu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf “

Sabda Rosul :

“ Jagalah Al-qur’an ini karena ia lebih mudah lepas dari pada seekor unta yang diikat “

Pengikut