kaligrafi

kaligrafi

Selasa, 17 Mei 2011

Nasehat tuk penuntut ilmu, tazkiyah

PENDAHULUAN

Pada pembahasan yang telah kami sebutkan di depan dalam kitab ini, anda bisa memahami bahwa menuntut ilmu itu hukumnya ada yang fardlu ‘ain bagi setiap muslim dan ada yang fardlu kifayah. Dan anda juga bisa memahami bahwa menuntut ilmu itu asalnya adalah dengan cara belajar langsung kepada ulama’ dan bertanya kepada fuqoha’ (ahli fiqih).

Akan tetapi kadang belajar lengsung kepada ulama’ itu tidak bisa dilakukan, terkadang karena di sebagian negara itu ulama’ jarang didapat atau terkdang karena di beberapa negara yang lain, orang yang menjadi pengajar atau mufti (juru berfatwa) nya adalah orang bodoh atau fasiq sehingga perkataan mereka tidak bisa dipercaya. Dengan demikian maka merujuk kepada buku itu tidak bisa dihindarkan lagi.
Dan diantara karunia Alloh yang Alloh anugrahkan kepada umat ini adalah bersepakatnya para ulama’ atas disyari’atkannya belajar dari buku yang disebut dengan Al Wijaadah. Pembahasan tentang disyari’atkannya Al Wijaadah ini telah kami rincikan pada Bab III Pasal III dalam kitab ini, disamping itu para ulama’ juga sepakat bahwa Al Wijaadah itu lebih rendah tingkatannya daripada belajar secara langsung kepada ulama’. Akan tetapi Al Wijaadah itu lebih baik daripada belajar dari para pemimpin yang bodoh yang disebut oleh Rosululloh SAW dalam sabdanya:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Alloh itu tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hambaNya akan tetapi Alloh mencabut ilmu dengan cara mencabut (mematikan) ulama’, sampai apabila tidak tersisa seorang ulama’ pun, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu para pemimpin itu ditanya lalu berfatwa tanpa berdasarkan ilmu, maka merekapun sesat dan menyesatkan” (Muttafaq ‘alaih).

Ini merupakan tanda-tanda kecil kiamat, sebagaimana sabda Rosululloh SAW:

من أشراط الساعة أن يقل العلم و يظهر الجهل
“Diantara tanda-tanda Qiyamat adalah sedikitnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”. (HR. Al-Bukhori dari Anas ra. hadits no. 81).
Karena sesungguhnya belajar dengan cara Al Wijaadah itu merupakan indikasi atas kurangnya ilmu, karena tidak diragukan lagi bahwa Al Wijaadah itu lebih rendah tingkatannya daripada belajar secara langsung kepada ulama’.

Apabila telah diterima bahwa belajar dengan cara Al Wijaadah itu diperbolehkan, maka sesungguhnya untuk belajar dengan cara Al Wijaadah ini tidak ada syarat apapun kecuali hanya memastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis oleh penulisnya. Dan syarat ini al hamdulillah terpenuhi pada semua kitab yang dijadikan landasan oleh umat.

Sedangkan maksud kami menulis bab ini (Buku-Buku Yang Kami Sarankan Untuk Dipelajari) adalah kami ingin menunjukkan kepada para penuntut ilmu kepada buku-buku yang harus ia baca dan pelajari. Petunjuk ini akan nampak penting apabila anda melihat banyaknya buku yang memenuhi perpustakaan-perpustakaan umum dan di toko-toko buku, yang mana setiap bidang ilmu bisa mencapai ribuan buku dari yang ringkas sampai yang panjang lebar. Ada yang jelek dan ada yang bagus, ada yang ditulis oleh para imam yang membawa petunjuk dan ada yang ditulis oleh para penebar kesesatan. Sehingga seorang penuntut ilmu — khususnya bagi para pemula — akan bingung menghadapi lautan buku tersebut, ia tidak tahu buku apa yang harus dia baca dan darimana dia harus mulai? Jika ia tidak mendapat bimbingan Alloh dia akan menyia-nyiakan umurnya bertahun-tahun untuk membaca buku-buku yang tidak ada manfaatnya atau buku-buku yang justru akan menyesatkan dan mencelakakannya. Dan kadang dia akan membaca buku yang seharusnya dia tidak membacanya kecuali setelah ia membaca buku-buku pengantarnya, sehingga ia tidak dapat memahami buku tersebut kecuali hanya sedikit. Dan kadang dia akan membelanjakan hartanya untuk membeli buku-buku yang seharusnya tidak ia beli pada tahapan yang tengah ia lalui. Kendala-kendala tersebut dan juga kendala-kendala lainnya telah dikeluhkan kepada saya oleh lebih dari seorang pemuda yang komitmen dengan diennya. Saya gambarkan keadaan seorang penuntut ilmu dalam menghadapi perpustakaan-perpustakaan yang berisi ribuan buku tersebut adalah seperti orang yang ingin menyeberang lautan atau melalui padang sahara sedangkan dia tidak mempunyai pengalaman untuk melakukannya. Dalam keadaan seperti ini ia harus mempunyai seorang pembimbing yang memberikan bimbingan kepadanya, kalau tidak pasti ia akan celaka kecuali ia mendapat rahmat dari Alloh. Dalam rangka memberikan bimbingan kepada para pemula dalam menuntut ilmu dan kepada kaum muslimin secara umum mengenai buku yang harus dibaca, maka saya tulislah bab ini. Dan bab ini insya Alloh akan mencakup 3 pasal, yaitu:

1. Pasal I : Nasehat-nasehat untuk para penuntut ilmu syar’iy.
2. Pasal II : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkat pertama.
3. Pasal III : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan kedua dan ketiga.

Wabillaahi ta’aala At Taufiiq.

PASAL I :
Nasehat-nasehat untuk para penuntut ilmu syar’i

Pasal ini terdiri dari 6 masalah, yaitu:
1. Nasehat-nasehat di dalam menuntut ilmu secara umum.
2. Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai.
3. Macam-macam ilmu syar’i.
4. Tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan dalam belajar.
5. Ciri-ciri buku yang bagus.
6. Nasehat-nasehat khusus bagi orang yang belajar dari buku.

Masalah pertama: Nasehat-nasehat di dalam menuntut ilmu secara umum.

1. Ditinjau dari hukum mempelajarinya, ilmu yang wajib dipelajari itu ada 2 macam:
a. Fardlu ‘Ain : Wajib bagi setiap muslim yang telah baligh dan berakal, laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak. Ilmu yang semacam ini tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya, selama ia ada jalan untuk itu meskipun harus rihlah dan pergi ke tempat yang ada orang yang bisa mengajarinya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam pembahasan masalah (wajib untuk rihlah (bepergian) untuk terjadi sesuatu) pada “Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Mustafti (orang yang meminta fatwa)”. Juga telah kami sebutkan dalam Bab II dalam buku ini bahwa ilmu yang fardlu ‘ain itu ada 2 macam:

Pertama : Yang wajib bagi seluruh kaum muslimin,
Kedua : Yang wajib bagi orang-orang tertentu sesuai dengan pekerjaan yang ia tekuni atau permasalahan yang ia hadapi.
b. Fardlu Kifaayah : Yaitu selebihnya dari ilmu di atas sehingga mencapai tingkatan ijtihad dalam masalah syari’at. Adapun selebihnya dari ilmu syar’i yang harus dimiliki oleh mujtahid hukum mempelajarinya adalah sunnah dan tidak termasuk fardlu kifayah, dan An Nawawiy menjadikannya sebagai bagian ketiga, sebagaimana yang kami nukil dari kitab beliau Al Majmuu’ dalam Bab II Pasal I

Tujuan dari penyebutan pembagian ini adalah mengingatkan para penuntut ilmu atas wajibnya mempelajari ilmu yang fardlu ‘ain sebelum mempelajari ilmu yang fardlu kifayah.
Sedangkan ilmu yang fardlu kifayah wajib untuk didahulukan yang paling penting daripada yang lainnya. Maka wajib mempelajari 5 ilmu-ilmu ijtihad, tanpa meremehkan ilmu-ilmu yang lainnya, maksud secara syar’i dari mempelajari ilmu yang fardlu kifayah adalah memenuhi kebutuhan umat dari kalangan para mujtahid sebagaimana yang telah diterangkan pada pasal ke-3 Bab ke II, maka tidak boleh mendalami satu pelajaran ilmu dan meremehkan yang lainnya. Dan banyak para ulama yang mengingatkan akan hal ini. Ibnu Muflih Al Hambaliy rh. berkata (Ibnul Jauzy berkata: “Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mempelajari hadits-hadits yang telah lalu akan menghalangi dari belajar ilmu yang diwajibkan untuk mencarinya. Imam Maalik berkata: “Tidak seorangpun yang banyak berkecimpung dengan hadits akan sukses, Ibnul Jauzy berkata: “Ini menunjukkan bahwa apa yang saya sebutkan berupa menyibukkan diri dengan berbagai metode dan istilah-istilah asing akan membuat dia kehilangan ilmu fiqih, lalu beliau menyebutkan banyak perkataan — hingga dia berkata — Dan kebanyakan manusia akhir-akhir ini terlalu mendalam dalam menulis cara-cara menukil lalu kesibukan mereka menyebabkan lalai dari mengetahui (memahami) kewajiban-kewajiban sampai-sampai salah seorang diantara mereka ditanya tentang rukun sholat – dan tidak bisa menjawabnya). (Al Aadaabusy Syariyah, oleh Ibnu Muflih II/122, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah).

1. Al Khotiib Al Baghdaadiy rh. juga menyebutkan dalam kitabnya (Al Faqiih Wal Mutafaqqih) bahwa beliau menulis untuk orang-orang yang mendalami ilmu hadits yang meremehkan ilmu fiqih, sehingga mereka dicela oleh Ahlu Ro’yi (Rasionalis) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih II/71-72). Al Khoth-thoobiy juga menyebutkan yang semisalnya di dalam Muqoddimah bukunya (Ma’aalimus Sunan). Dan Ibnu ‘Abdul Barr juga mengingatkan dalam hal ini di dalam (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi II/171) musibah ini masih ada hingga hari ini pada sebagian orang-orang yang menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu hadits dan Rijaal (sanad).

2. Ikhlas di dalam menuntut ilmu itu hukumnya adalah wajib. Hal itu adalah termasuk ibadah hati dan itu rahasia antara hamba dan RobbNya, Alloh akan menolong penuntut ilmu dan memberi taufiq (petunjuk) kepadanya sesuai dengan keikhlasannya. Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik” (QS. An-Nahl:128).
Hal ini telah dijelaskan dengan rinci pada awal Bab IV (Aadabul Aalim Wal Muta’allim).

3. Hal-hal yang membantu dalam menuntut ilmu telah saya terangkan, khususnya pada Bab IV, di sana telah saya terangkan dengan detil, sedangkan di sini kami sebutkan secara global saja, yaitu diantaranya:
a. Ikhlas, pertolongan yang datang dari Alloh Ta’ala sesuai dengan kadar keikhlasan.
b. Mempersedikit hal-hal yang menyibukkan.
c. Belajar sedini mungkin.
d. Tidak menyia-nyiakan waktu, dan mengatur waktu serta memanfaatkannya dengan sebaik-baik mungkin.
e. Mencari kawan dalam menuntut ilmu.
f. Mengamalkan ilmu dan memerangi hawa nafsu dalam rangka mengamalkannya. Diantara bentuk beramal dengan ilmu adalah bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan memperbanyak amalan-amalan sunnah, makan yang halal, menundukkan pandangan, serta menjaga pendengaran, dan diantara bentuk mengamalkan ilmu juga adalah menyebarkan, mengajarkan dan mendakwahkannya.
g. Bersabar dalam menuntut ilmu itu tidak bisa terelakkan untuk terus melanjutkan belajar dan untuk mencapai pada tingkatan yang tinggi. Alloh Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan diantara mereka kami jadikan sebagai imam yang memberikan petunjuk dengan ajaran kami ketika mereka bersabar dan mereka yakin terhadap ayat-ayat kami” (QS. As Sajdah:24).
Diantara hal-hal yang dapat membantu untuk menumbuhkan kesabaran adalah dengan memahami keutamaan dan urgensi ilmu, khususnya pada zaman kita sekarang, yaitu zamaanul ghurbah (zaman keterasingan).

Masalah kedua: Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai

1. Ilmu adalah memahami sesuatu sesuai dengan hakekatnya dengan pemahaman yang mantap. Sedangkan tidak memahami sesuatu adalah Al Jahlul Basiith (kebodohan yang ringan). Dan memahami sesuatu yang tidak sesuai dengan hakekatnya adalah Al Jahlul Murokkab (kebodohan yang sangat). Memahami sesuatu dengan sedikit condong kepada yang sebaliknya disebut Adh Dhonn. Memahami sesuatu dengan pemahaman yang setara dengan sebaliknya adalah Asy Syakk (ragu-ragu). Memahami sesuatu namun lebih condong kepada yang sebaliknya adalah Al Wahmu.

2. Ilmu Syar’iy adalah: Memahami suatu hukum beserta dalil-dalilnya dari Al Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ yang bisa diterima atau Qiyas yang benar terhadap nash atau ijma’. Hal ini telah dijelaskan pada masalah ke-13 dari Ahkaamul Mustaftiy (hukum-hukum orang-orang yang berfatwa) pada bab ke V. Maka ilmu syar’i pada hakekatnya adalah memahami dalil dan apa-apa yang disimpulkan dari hukum-hukum dan faedah-faedah dengan berbagai macam petunjuk yang berbeda. Dan Alloh telah menamakan Al Qur’an (dan Al Qur’an itu adalah dasar dalil-dalil) dengan ilmu, maka ilmu itu adalah dalil. Alloh Ta’ala berfirman:

فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Maka barangsiapa yang membantahmu tentangnya setelah datang ilmu kepadamu” (QS. Ali-Imron:61).
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
فَلِمَ تُحَآجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمُُ
“Lalu kenapa kalian membantah sesuatu yang kalian tidak ketahui, maka Alloh Subhaanahu Ta’ala mencela orang yang berbicara tanpa dasar ilmu”. (Ali ‘Imroon: 66)

3. Menguasai ilmu, yaitu memahami suatu hukum beserta dalilnya, memahami bantahan-bantahan yang ada padanya dan perkataan orang-orang yang menyelisihi serta bagaimana menjawabnya atau dengan kata lain bahwa menguasai ilmu itu adalah memahami yang benar diantara perkataan yang bermacam-macam dan saling bertentangan. Dan diriwayatkan bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:
أعلم الناس أبصرهم بالحق إذا اختلف الناس
“Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling memahami kebenaran jika manusia saling berselisih”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam Kitab Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi II/43).
Alloh Ta’ala berfirman:

وَلاَيَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّجِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan sebaik-baik penjelasan” (QS. Al Furqon:33).
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka yang bathil itu lenyap” (QS. Al-Anbiya’:18).
Juga firman Alloh:

وَمَآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Dan tidaklah kami menurunkan kepadamu Al-Kitab kecuali untuk menerangkan kepada mereka apa-apa yang mereka perselisihkan di dalamnya” (QS. An-Nahl:64).
Serta firman Alloh:
إن هذا القرآن يقص على بني إسرائيل أكثر الذي هم فيه يختلفون
“Sesungguhnya Al Qur’an ini menjelaskan kepada bani isroil sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya” (QS. An-Naml:76).

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa membantah syubhat-syubhat dan kebathilan adalah merupakan amalan para Nabi AS — sebagaimana terdapat dalam dua ayat pada surat Al Furqoon dan Al Anbiyaa’ — dan para ulama mewarisi mereka dalam hal ini, selain itu ayat-ayat ini juga menerangkan bahwa menampakkan kebenaran pada tempat-tempat yang diperselisihkan adalah merupakan pekerjaan para Nabi AS. — sebagaimana dalam kedua ayat pada surat An-Nahl dan An-Naml — dan para ulama juga mewarisi para Nabi dalam hal ini. Dan bukankah orang yang berilmu ketika menyebutkan suatu hukum beserta dalilnya lalu apabila dibantah (dipertentangkan) dengan dalil yang lain pada masalah yang sama atau dibantah dengan hal yang syubhat dia terdiam (tidak bisa menjawab). Untuk itu Ibnu Taimiyyah rh. berkata: “Orang yang faqih adalah: orang yang mendengar perselisihan di kalangan ulama dan dalil-dalil mereka secara umum, dan dia memiliki pendapat yang rojih dari apa yang dia pahami”. (Al Ikhtiyaroot Al Fiqhiyyah oleh Ibnu Taimiyyah yang disusun oleh Al Ba’liy, cet. Darul Ma’rifah hal. 333).

Ibnu Taimiyyah rh. berkata: “Dan ini adalah sebaik-baik sikap di dalam menerangkan perselisihan. Dia memahami pendapat-pendapat dalam masalah itu, memperhatikan yang benar dari pendapat tersebut, membuang yang bathil, dan menyebutkan faedah-faedah dan manfaat dari sebuah perbedaan (perselisihan) supaya tidak bertambah panjang perselisihan dan perdebatan pada hal-hal yang tidak ada faedah di bawahnya lalu menyibukkan diri dengannya dan pada hal-hal yang lebih penting.
Sedangkan orang yang menyebutkan perselisihan pada suatu masalah namun dia tidak memahami pendapat-pendapat orang-orang di dalamnya maka dia itu kurang sempurna, bisa jadi kebenaran yang dia tinggalkan.

Atau dia menyebutkan perbedaan dan membiarkan begitu saja serta dia tidak memperhatikan pendapat yang shohih maka dia itu juga kurang sempurna.
Apabila dia membenarkan yang tidak benar dengan sengaja maka dia telah sengaja berbuat kedustaan atau karena bodoh maka dia telah melakukan kesalahan.

Begitu juga orang yang meletakkan perselisihan di bawahnya atau menyebutkan beberapa pendapat secara lafadz lalu mengembalikan hasilnya kepada satu atau dua pendapat secara makna, maka dia telah menyia-nyiakan waktu dan memperbanyak sesuatu yang tidak benar, maka dia seperti orang yang memakai baju kebohongan, dan Alloh lah yang memberi petunjuk kepada kebenaran. (Majmuu’ Fataawaa XIII/368).
Inilah ciri-ciri menguasai ilmu.

4. Dan ilmu yang dapat diterima adalah ilmu yang dihafal. Alloh Ta’ala berfirman:
بَلْ هُوَ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankaabut:49).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berilmu itu adalah mereka yang ilmunya berada di dalam dada mereka. Inilah yang dimaksud dengan menghafal.

Sebagian para salaf berkata: “Bukanlah orang yang berilmu apabila ilmu itu tidak bersama pemiliknya ketika masuk ke kamar mandi,” orang yang berkata seperti ini adalah ‘Abdur Rozzaaq Ash Shon’aaniy, pengarang kitab Al Mushonnaf yang wafat pada tahun 211 H, yang dimaksud adalah bahwa dia tidak berilmu kecuali dengan menghafalnya, sedangkan orang yang ilmunya hanya di dalam buku saja, tidak berada di dalam dadanya (hatinya) ini bukan ilmu yang diakui karena apabila bukunya hilang (dengan dicuri atau terbakar atau yang semisalnya) maka hilang pula ilmunya, sebagaimana buku-buku itu tidak dibawa bersamanya apabila memasuki kamar mandi. Apabila meminta ilmu itu datang dan dia berada di kamar mandi (dan ini tidak akan terjadi kecuali bagi orang yang menghafalnya) maka dialah orang alim, apabila tidak maka dia bukan orang yang alim dan penyakit-penyakit (musibah-musibah) yang menghalanginya itu banyak sekali maka harus menghafalnya.

Dan telah kami sebutkan hal-hal yang membantu dalam penghafalan, dalam masalah Adab-Adab Muta’allim pada bab ke IV, diantaranya adalah: konsentrasi (meninggalkan kesibukan yang lain), menyendiri (di tempat tertentu), diulang-ulang (dan ini adalah dasar dalam penghafalan), memahami makna, menulis (artinya menulis maksud dari hafalannya), mengulang-ngulang yang sudah dihafal di setiap waktu, mengajarkannya (dan itu termasuk diantara bentuk pengulangan) dan bergaul dalam menuntut ilmu serta belajar sejak kecil dua hal yang membantu dalam menghafal.

5. Ciri-ciri ilmu yang harus dikuasai — hal itu berdasarkan kata pengantar yang telah lalu — adalah:
a. Memahami hukum beserta dalilnya, baik hanya satu dalil ataupun beberapa dalil.
b. Memahami bantahan-bantahan dan pendapat-pendapat yang bertentangan serta syubhat-syubhat yang terdapat dalam hukum itu serta bagaimana cara menjawabnya, dengan ini semua pendapat yang kuat akan terpisah dengan pendapat yang lemah dengan dalil-dalil.
c. Menghafal ini semua.
Berdasarkan hal ini maka hendaknya bagi penuntut ilmu untuk betul-betul berusaha untuk memenuhi ketiga sifat ini pada ilmu-ilmu yang dipelajarinya, dan tidak boleh fanatik kepada satu madzhab, atau orang, atau kelompok atau jama’ah bahkan tidak boleh kepada apapun kecuali kepada kebenaran yang diturunkan oleh Alloh kepada Rosululloh SAW. Sesungguhnya Alloh Subhaanahu wa Ta’ala pasti akan meminta pertanggung jawaban tentang sambutannya kepada Rosul SAW bukan sambutannya kepada madzhab atau syaikh atau kelompok. Alloh Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَآ أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ {65} فَعَمِيَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَنبَآءُ يَوْمَئِذٍ فَهُمْ لاَيَتَسَآءَلُونَ {66} فَأَمَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَن يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ {67}
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Alloh menyeru mereka seraya berkata: “Apakah jawabanmu kepada Rosul? Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, karena itu mereka tidak saling tanya menanya. Adapun orang-orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal-amal yang sholeh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung” (QS. Al Qoshosh:65-67).

Masalah ketiga:
Ilmu Syar’i itu terbagi menjadi 3 bagian: ilmu-ilmu dasar (Al ‘Uluum Al Ashliyyah), Al ‘Uluum Al Mustanbathoh minal ‘Uluum Al Ashliyyah (ilmu yang disimpulkan dari ilmu-ilmu dasar) dan Al ‘Uluum Al Wasaa-il (ilmu-ulmu alat) yang digunakan untuk mendapatkan Al ‘Uluum Al Mustanbathoh (ilmu-ilmu hasil kesimpulan) dari Al ‘Uluum Al Ashliyyah (ilmu-ilmu dasar).

1. Sedangkan Al ‘Uluum Ashliyyah atau Al Asaasiyyah (dasar), adalah:
a. Al Qur’an
b. As Sunnah (atau ilmu hadits dari sisi periwayatan, yaitu: apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan/perbuatan/penerapan atau sifat.
Al Qur’an dan As Sunnah inilah dasar ilmu syar’i. Alloh Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Maka apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Alloh dan Rosul” (QS. An-Nisa’:59).
Artinya kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan ijma’, Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Sedangkan dasar ilmu adalah Al Qur’an dan As-Sunnah” (Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi II/33).
2. Al ‘Uluum Al Mustanbathoh (ilmu hasil kesimpulan), yaitu ilmu-ilmu yang disimpulkan dari — atau yang terbangun di atas — ilmu-ilmu dasar (Al Qur’an dan As-Sunnah) dengan dalil yang bermacam-macam terhadap nash-nash. Yang termasuk Al ‘Uluum Al Mustanbathoh adalah:
a. ‘Aqidah (yaitu masalah-masalah ‘ilmiyah dan khobariyyah yang disimpulkan dari dalil-dalilnya secara terperinci/detail).
b. Fiqh (yaitu hukum-hukum syar’iy yang bersifat ‘amaliyyah (amalan / perbuatan) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya secara detil.
c. Ar Roqoo-iq: yaitu ibadah-ibadah hati dan adab-adabnya.
d. Al Aadaabus Syar’iyyah (Adab-adab Syar’iy), yaitu adab-adab anggota badan.
e. Al Adzkaar Wal Ad’iyah (Dzikir-dzikir dan doa-doa), yaitu ibadah-ibadah lisan).
3. Uluumul Wasaa-il (ilmu-ilmu alat), ilmu-ilmu ini dinamakan dengan Al ‘Uluum Al Wasaa-il karena:
a. Merupakan alat atau sarana untuk mengoreksi kebenaran ilmu-ilmu yang dasar dan memahaminya sebagaimana para sahabat memahaminya, maka tajwid dan tafsir adalah ilmu untuk membaca Al Qur’an dan untuk memahaminya dengan cara yang benar, dan ilmu mustholahul hadits adalah sarana untuk membedakan antara hadits yang diterima dan yang ditolak.
b. Karena ilmu-ilmu ini juga merupakan sarana untuk memperoleh Al ‘Uluum Al Mustanbathoh — seperti fiqh — dari ilmu-ilmu yang dasar, maka dia sebagai cara untuk menghasilkan ilmu dari ilmu juga.
Dan ilmu-ilmu wasail ada 4 macam:
a. ‘Uluumul Qur-aan (ilmu Al Qur’an), diantaranya adalah Tajwid, Tafsir, Ghorib, Asbabun Nuzul, Nasikh dan Mansukh, dll. As Suyuuthiy di dalam kitabnya (Al Itqoon), menyebutkan hingga ada 80 cabang ilmu di dalam ‘Uluumul Qur-aan.

b. ‘Uluumul Hadiits (ilmu hadits) atau ilmu hadits diroyatan (mengenai sanad hadits) atau disebut dengan Mustholahul Hadiits, diantaranya (macam-macam hadits yang berbeda-beda, Ghoriibu Al Ma’aajim, Syuruhul Hadits, ‘Ilmu Rijaal (memahami perowi) beserta cabangnya: Tawaariikhur Ruwaat (sejarah para rowi) dan Jarh wa Ta’diil). Ibnu Sholaah telah menyebutkan hingga terdapat 65 macam ilmu hadits di dalam (muqoddimahnya). As Suyuuthiy berkata — di dalam kitab Tadriibur Roowiy — ilmu itu mungkin lebih banyak lagi dengan berbagai macam cabang-cabangnya.

c. ‘Uluumul Lughoh Al ‘Arobiyyah (ilmu bahasa Arab) yaitu: Nahwu, Shorof, Balaaghoh (seni bahasa Arab), Lughoh (bahasa), dan Adab (sastra bahasa Arab).

d. Ushuulul Fiqh (yang membuat hukum, dalil-dalil hukum — al mahkuum bihi (sesutu dijadikan landasan hukum) — methode istinbaath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil, al mahkuum fiihi (sesuatu yang dihukumi), al mahkuum ‘alaihi (sesuatu yang terkena hukum) dan apa-apa yang menghalanginya dari hukum.
Ilmu-ilmu ini — Al ‘Uluum Al Wasaa-il — tidak dibutuhkan oleh orang-orang awam, karena ilmu ini bukan termasuk fardhu ‘ain, akan tetapi dibutuhkan oleh penuntut ilmu yang berusaha mencapai tingkatan dapat berijtihad di dalam syariah karena hal itu merupakan sarana-sarana untuk berijtihad.

Al ‘Uluum Al Wasaa-il (ilmu-ilmu alat) ini disusun/diterapkan setelah masa para sahabat ra, karena mereka tidak membutuhkan ilmu-ilmu itu pada hakekatnya tujuan para ulama menetapkan ilmu-ilmu itu (‘Uluumul Qur-aan, Mustholahul Hadiits, Qowaa’idul Lughoh dan Ushuulul Fiqhi) adalah agar orang yang alim (berilmu) dapat memahami nash-nash sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat lalu mengikutinya dan tidak menyimpang darinya. Dengan inilah dien ini terjaga dari perubahan, penyelewengan serta berjalan di atas manhaj lain selain manhaj yang pertama, apabila mereka melakukan semua itu maka mereka akan mendapat petunjuk namun apabila tidak mereka akan tersesat. Ibnu Katsiir rh. berkata (‘Umar berkata kepada Ibnu ‘Abbaas: “Bagaimana mereka bisa berselisih padahal ilah mereka sama, kitab dan agama mereka sama? Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang tidak bisa memahami Al Qur’an sebagaimana kita memahaminya, maka mereka berselisih di dalamnya, apabila mereka berselisih di dalamnya mereka akan saling membunuh. Lalu ‘Umar bin Khoth-thoob mengakui /menerima hal itu”. (Al Bidaayah Wan Nihaayah VII/276). Maka fitnah dan kerusakan itu terjadi karena ketidakmampuan dalam memahami nash-nash (Al Kitab dan As Sunnah). Sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat lalu terjerumus kepada hal-hal yang baru di dalam agama dan akibat-akibatnya berupa perselisihan dan perpecahan, atas dasar hal ini maka para ulama’ menetapkan ilmu-ilmu wasail sebagai pengontrol dalam memahami nash-nash Al Kitab dan As Sunnah dan sebagai pengontrol kesimpulan darinya.

Diantara perkataan yang menerangkan pentingnya ilmu wasail dalam menjaga diin adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ady Al Jurjaaniy rh. di dalam kitabnya Al Kaamil Fii Dhuaafaa’ir Rijaal, dia berkata: “Kami diberitahukan oleh ‘Abdulloh bin ‘Abbas Ath Thoyaalisy, beliau berkata: “Saya mendengar Hilaal bin ‘Alaa’ berkata: “Alloh memberi karunia kepada umat ini dengan 4 hal, dan kalau bukan karena 4 hal ini manusia pasti akan celaka/hancur; Alloh memberi karunia kepada umat dengan Imam Asy Syaafi’iy, sehingga nampak jelas mana yang mujmal (global) dan mana yang mufassar (terperinci), mana yang khoos (khusus) dan mana yang ‘aam (umum), yang naasikh (yang menghapus) dari yang mansuukh (yang terhapus), dan kalau bukan karena beliau maka manusia akan celaka. Alloh memberi karunia kepada mereka dengan Ahmad bin Hambal seingga beliau bersabar dalam ujian dan siksaan maka orang lain melihat kepadanya, lalu juga bersabar, dan mereka tidak mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, dan kalau bukan karena beliau manusia akan celaka. Lalu Alloh memberi karunia kepada mereka dengan Yahya bin Ma’iin hingga nampak jelas orang-orang yang lemah dari orang-orang yang tsiqot, dan kalau bukan karena beliau maka manusia akan celaka, dan Alloh memberi karunia kepada umat dengan Abu Ubaid hingga beliau dapat merinci hadits-hadits Rosululloh SAW yang ghoriib, dan kalau bukan karena beliau manusia akan celaka. (Al Kaamil Fii Dhu’afaa-ir Rijaal I/119, cet. Darul Fikir th. 1409 H).

Dan juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Ady dari Muhammad bin Siiriin, beliau berkata: “Telah datang suatu masa dan tidak pernah ditanyakan tentang isnad hadits hingga terjadi fitnah, maka ketika terjadi banyak fitnah ditanyakanlah tentang sanad hadits untuk dilihat siapakah yang termasuk ahlus sunnah sehingga diambil haditsnya, dan siapakah yang termasuk ahli bid’ah sehingga ditinggalkan haditsnya. (Al Kaamil Fii Dhu’afaa-ir Rijaal I/121). Yang dimaksud dengan fitnah adalah munculnya kelompok-kelompok sesat dan membuat hadits-hadits yang dusta terhadap Rosululloh SAW.

Ibnu ‘Ady berkata: “Ibnul Mubaarok berkata: “Sanad itu adalah termasuk dari bagian agama, kalau bukan karena sanad ini pasti orang-orang akan berkata sesuka hatinya” (ibid I/121).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berbicara mengenai penetapan para ulama tentang ilmu-ilmu wasail ini, beliau berkata: “Pendapat mengenai ilmu ini yaitu ilmu Asma’ wa Lughoh (ilmu mengenai nama-nama orang dan bahasa), sesungguhnya tujuan memahami Nahwu dan bahasa adalah sebagai sarana yang menghantarkan dia untuk memahami kitab Alloh dan Sunnah RosulNya, dll, dan supaya seseorang dapat berbicara seperti perkataan orang-orang Arab, sedangkan para sahabat tidak membutuhkan ilmu Nahwu, namun orang-orang setelah mereka membutuhkannya, maka perkataan-perkataan mereka di dalam masalah tata — bahasa Arab — seperti itu tidak terdapat pada zaman sahabat. Hal ini karena kelemahan (kekurangan) mereka dan kesempurnaan para sahabat. Begitu juga perkataan mereka tentang nama-nama orang dan berita-berita mereka — yang tidak terdapat pada masa para sahabat, karena wasilah-wasilah ini dibutuhkan oleh selain para sahabat, begitu juga banyak penelitian-penelitian dan pembahasan-pembahasan yang dibutuhkan oleh orang-orang mutaakhirin — namun tidak dibutuhkan oleh para sahabat.
Begitu juga terjamahan Al Qur’an bagi orang-orang yang tidak memahami bahasa Arab, dia membutuhkan kepada bahasa dia, seperti Persi, Turki, Romawi (Eropa). Namun para sahabat adalah orang-orang Arab yang tidak membutuhkan hal itu.

Begitu juga banyak Tafsir yang Ghorib (hal-hal yang asing) dibutuhkan oleh banyak manusia, namun para sahabat tidak membutuhkan hal itu.
Maka barang siapa yang menjadikan ilmu nahwu, ma’rifaturrijal, istilah-istilah ilmiyah dan dialektik yang membantu untuk penelitian dan diskusi, sebagai tujuan ilmu yang utama, maka dia telah beranggapan bahwa dirinya lebih pintar daripada para sahabat. Sebagaimana banyak yang dikira oleh orang-orang yang bashirohnya (pandangan hatinya) dibutakan oleh Alloh. Dan barang siapa yang memahami bahwa hal itu sebagai tujuan antara/saran untuk ilmu yang lainnya dia mengetahui bahwa para sahabat yang mengetahui maksud ilmu-ilmu wasail ini lebih utama daripada orang-orang yang tidak mengetahui seperti mereka mengetahui maksud-maksud ilmu-ilmu ini, walaupun dia mahir/pandai dalam Al ‘Uluum Al Wasaa-il.” (Minhaajus Sunnah An Nabawiyyah, Ibnu Taimiyyah, ditahqiiq oleh DR. Muhammad Rosyaad Saalim, cet. 1406 H VIII/205-206).

Demikianlah, dari maksud disebutkan macam-macam ilmu syar’i di sini ada beberapa hal diantaranya:
1. Supaya penuntut ilmu mengetahui kedudukan setiap macam ilmu dan tujuannya, lalu setiap ilmu itu diberikan hak-haknya tanpa berlebih-lebihan dan menguranginya. Maka tidak sah (benar) seorang pelajar mendalami pelajaran ilmu mustholah atau ilmu rijal namun dia belum pernah sama sekali menghafal salah satu kitab dari Kutubus Sittah (kitab yang enam). Karena sesungguhnya ilmul mustholah itu tujuan untuk yang lainnya sedangkan ilmu sunnah (secara periwayatan) adalah maksud sebenarnya.

2. Supaya penuntut ilmu mengetahui bahwa ilmu-ilmu wasail adalah termasuk sarana untuk berijtihad dan istinbaath (mengambil kesimpulan), sehingga orang awam tidak harus memahaminya, karena tujuan yang harus diketahui oleh orang-orang awam dengan ilmu ini adalah mengetahui bahwa di sana ada hadits-hadits shohih yang dapat dijadikan hujjah (dalil) dan yang lain ada hadits dho’iif (lemah) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), ini dalam masalah ilmu mustholah, sedangkan dari masalah ushul fiqh orang-orang awam tidak harus mengetahuinya kecuali lima macam hukum syar’i taklifi — yaitu wajib, manduub, mubaah, makruh dan haram —. Inilah yang harus diketahui oleh orang-orang awam. Dan kami membagi buku-buku yang kami anjurkan untuk dipelajari yang insya Alloh akan kami sebutkan menjadi 3 tingkatan tahapan belajar:

• Tingkatan pertama: khusus bagi orang-orang awam dan tidak sama sekali disebutkan di dalamnya sesuatupun dari ilmu-ilmu wasail kecuali apa yang kami singgung di atas berupa ilmul mustholah dan ushul fiqh.
• Tingkatan kedua : khusus untuk penuntut ilmu yang masih pemula, di dalamnya kami sarankan untuk mempelajari ringkasan-ringkasan ilmu-ilmu wasail yang bermacam-macam untuk mengetahui istilah-istilahnya.
• Tingkatan ketiga : khusus bagi penuntut ilmu yang sudah senior, di dalamnya kami anjurkan untuk mempelajari secara detail ilmu-ilmu wasail yang bermacam-macam untuk dapat menghasilkan ijtihad.
Inilah hal-hal yang berkenaan dengan macam-macam ilmu syar’i.

Masalah ke empat: Tingkatan-tingkatan belajar.

Yang lalu telah kami ingatkan akan pentingnya bertahap dalam menuntut ilmu. Hal ini terdapat pada bagian ketiga dari Adab-Adab Muta’alim di dalam pasal ketiga dan bab ke IV, dan penyebutan kami di sana bahwa tahapan-tahapan itu dibutuhkan dalam kuantitas dan kualitas supaya penuntut ilmu (pelajar) mengetahui apa yang dia capai dan tidak terputus.

Kami katakan bertahap dalam kuantitas, artinya hendaknya penuntut ilmu mempelajari ukuran kemampuan yang dimiliki oleh akal dan usahanya, sedangkan bertahap di dalam kualitas adalah senantiasa menjaga urutan yang benar di dalam mempelajari berbagai ilmu maka jangan mempelajari suatu ilmu jika belum mempelajari mukaddimahnya (pendahuluannya) dan jangan mempelajari suatu kitab secara detil apabila belum membaca sedikitpun dari ringkasannya.

Alloh Ta’ala telah mengingatkan akan pentingnya bertahap didalam belajar, yaitu dalam firman Alloh Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
“Dan orang-orang kafir berkata: “Mengapa Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja! Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al-Furqon:32).
Dan firman Alloh Ta’ala:
وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث و نزلناه تنزيلا
“Dan Al Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian” (QS. Al Isroo’:106).

Alloh SWT tidak menurunkan Al Qur’an kepada Nabi SAW secara sekali turun saja, namun dipisah-pisahkan lalu diturunkan secara bertahap selama 23 tahun sedikit demi sedikit, supaya dapat meneguhkan hati. Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr rh. berkata: “Mencari ilmu itu ada tingkatan-tingkatan, tahapan-tahapan dan urutan-urutan yang tidak boleh dilanggar, barang siapa yang melanggar semuanya maka dia telah melanggar (menyeleweng) dari jalan para salaf rhm, dan barangsiapa yang melenceng (melanggar) jalan mereka dengan sengaja maka dia telah sesat dan barangsiapa yang melenceng dari jalannya dengan sungguh-sungguh maka dia telah tergelincir “. (Jaami’ul Bayaanil iIlmi II/166).

Karena adanya tahapan didalam menuntut ilmu dengan kepentingan ini maka kami menjadikan buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari menjadi 3 tahapan insya Alloh setiap tingkatannya sesuai dengan kelompok tertentu dari kaum muslimin sebagaimana 3 tingkatan ini sesuai dengan 3 tahapan di dalam menuntut ilmu.
Kami jadikan tingkatan pertama khusus bagi orang-orang awam, ini artinya akan meliputi penjelasan tentang fardlu ‘ain dari ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim.
Sedangkan pada tingkatan kedua khusus bagi para penuntut ilmu yang masih pemula, termasuk di dalamnya kebanyakan para pemuda yang beragama yang sedang melakukan belajar ilmu syar’i pada hari ini.
Dan pada tingkatan ketiga untuk penuntut ilmu yang sudah lama (senior) yang khusus (spesialisasi) yang berusaha untuk mencapai tingkatan dapat berijtihad dalam syariat.
Tambahan keterangan, untuk para penuntut ilmu pada tingkatan kedua wajib untuk memulai belajar dengan mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama, sebagaimana penuntut ilmu pada tingkatan ketiga harus memulai belajar dengan mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama kemudian kedua. Inilah tuntunan untuk bertahap dan bertingkat-tingkat.

Masalah ke lima: Ciri-ciri buku yang bagus

Diantara ciri-ciri buku yang bagus adalah :
1. Hendaknya penulis kitab dari ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah.
Hal itu supaya penuntut ilmu — khususnya pemula — selamat hatinya dari bergantung dengan sesuatu perkataan yang bid’ah lalu meyakini bahwa hal itu adalah benar karena dia percaya kepada pengarang, padahal dia tidak tahu bahwa pengarang tersebut melakukan penyimpangan dan kesesatan. Dari hal inilah para ulama masih saja memperingatkan dari misalnya Tafsiir Al Kasy-syaaf oleh Az Zamakhsyariy, karena dia membela madzhab mu’tazilah dalam tafsir itu yang kadang-kadang secara eksplisit, sampai-sampai Siroojud Diin Al Balqiiniy berkata: “Dan dia adalah termasuk salah satu gurunya Imam Ibnu Hajar, beliau berkata: ”Sesungguhnya dia menguraikan/menjelaskan paham mu’tazilah dari buku Al Kasy-syaaf dengan penuh perdebatan.

Sedangkan ulama-ulama Ahlus Sunnah adalah seperti para pengarang Kutubus Sittah dan yang lainnya yang telah disebutkan oleh Al Laalikaa-iy di dalam tingkatan orang-orang dan berbagai macam kota pada juz awal dari kitabnya Syarhu I’tiqoodi Ahlis Sunnah, diantara mereka adalah Ibnu Qudaamah, Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya seperti Ibnul Qoyyim, Al Haafidh Adz Dzahabiy dah Ibnu Katsiir serta yang lainnya rhm. semuanya.

Apabila penuntut ilmu memerlukan pendalaman pada beberapa ulama’ yang memiliki perbedaan-perbedaan dengan ahlus sunnah pada beberapa masalah seperti Ibnu Hazm, Al Qoodliy ‘Iyaadl, Al Qurthubiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar rh. maka hendaknya penuntut ilmu mengetahui dengan jelas perbedaan-perbedaan mereka, seperti ta’wil di dalam masalah sifat dan irjaa’ (paham Murji-ah) dalam masalah iman.
2. Hendaknya penulis kitab ahli (spesialis) dalam bidangnya.
Alloh Ta’ala berfirman:
وَلاَيُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir:14).
3. Kitab (buku) yang ditulis oleh orang yang faqih (ahli fiqih) itu lebih baik daripada kitab yang ditulis oleh orang yang tidak berkecimpung dalam masalah fiqh.
Sampai walaupun bukunya bukan dalam masalah fiqh, keistimewaan apa yang ditulis oleh para fuqoha’ adalah lebih simpel (ringkas) dan runtut ketika menjadi pertentangan dalam hukum-hukum baik yang jauh maupun yang dekat. Inilah perbedaan yang paling utama antara buku-buku para salaf yang kebanyakan adalah para fuqoha’ dengan buku-buku yang ditulis oleh orang-orang masa kini yang kebanyakan tidak berkecimpung dalam masalah fiqh, maka kadang-kadang mereka mendatangkan kebodohan dan keanehan-keanehan yang menyelisihi nash-nash dan ijma’.
4. Buku yang disebutkan pendapat-pendapat beserta dalilnya itu lebih baik daripada yang tidak disebutkan dalil-dalilnya.
Hal itu karena seorang penuntut ilmu berlatih untuk mengikutinya, dan supaya tidak menerima suatu pendapat kecuali disebutkan dalilnya, supaya seorang penuntut ilmu terlepas belenggu taqlid (ikut-ikutan) yang telah kami sebutkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan kecuali kalau memang benar-benar tidak dapat menyebutkan pendapat beserta dalilnya.
5. Buku-buku yang disebutkan pendapat yang roojih (kuat) dari yang marjuuh (lemah) itu lebih baik daripada buku yang menyebutkan pendapat secara lepas (umum) dan membiarkan penuntut ilmu di dalam kebingungan dan tidak tahu pendapat mana yang harus dikerjakan? Dan telah kami sebutkan dalam adab-adab pada pasal pertama dari bab ke V bahwa seharusnya seorang mufti tidak boleh membiarkan mustaftiy (orang yang meminta fatwa) dalam kebingungan bahkan wajib bagi dia untuk mengeluarkan dia dari kebutaannya (ketidaktahuannya).
6. Termasuk kitab (buku) yang bagus adalah hendaknya mengandung sebagian besar permasalahan yang terdapat dalam bidang ilmu tersebut, sehingga tidak membutuhkan kepada kitab-kitab selainnya.
7. Buku yang telah ditakhriij hadits-haditsnya dan hukum-hukumnya dengan keterangan derajat haditsnya lebih baik daripada buku-buku yang masih memerlukan untuk ditakhriij, supaya penuntut ilmu itu mengetahui tingkat kekuatan dalil dan sejauh mana dalil itu bisa dijadikan hujjah.
Inilah ciri-ciri utama buku yang bagus menurut saya dan Alloh lebih mengetahuinya, selain itu ditambah dengan cetakan dan penerbitan yang bagus sehingga mudah untuk ditelaah, karena sesungguhnya kemudahan itu dibutuhkan (diperlukan) secara umum.
Dan mungkin sangat tepat di sini akan saya beritahukan kepada penuntut ilmu tentang referensi-referensi ilmiyah yang paling penting:

Referensi-referensi Ilmu Syar’i yang paling penting
Buku-buku syar’i sudah mencapai ratusan ribu bahkan sampai jutaan, padahal umur manusia lebih pendek daripada waktu untuk dapat menguasai kira-kira 10% dari kitab-kitab ini, oleh karena itu kita harus mengetahui buku-buku yang paling utama untuk belajar tentang masing-masing ilmu dari ilmu-ilmu yang penting untuk kita tekuni. Ini akan kami sebutkan pada pasal selanjutnya insya Alloh. Sedangkan buku-buku yang paling utama secara umum adalah:

Pertama kali dalam hal itu adalah menghafal Al Qur’an yang merupakan dasar ilmu-ilmu syar’i dan lughowi (bahasa). Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitab Alloh ‘Azza wa Jalla dan memahaminya, dan setiap ilmu yang membantu untuk memahaminya maka wajib untuk dipelajari. Namun saya tidak mengatakan bahwa menghafal Al Qur’an secara keseluruhan adalah wajib, akan tetapi saya katakan sesungguhnya menghafal Al Qur’an itu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang ingin menjadi seorang ‘Alim bukan kewajiban yang berarti fardlu.” (Jami’u Bayaanil ‘Ilmi II/166-167).
Dan buku yang paling penting setelah kitab setelah Kitab Alloh Ta’ala adalah Shohiih Imam Al Bukhooriy rh.
Sedangkan setelah buku itu sesungguhnya buku-buku ilmu Islam yang paling penting adalah — menurut pendapatku — ada 4, yaitu:

1. Tafsiir Al Qur’anil Adhim karya Al Haafidz Ibnu Katsiir rh. (774 H): inilah buku tafsir yang paling penting dari buku-buku at tafsiir bil ma’tsuur (berdasarkan atsar) dari para salaf, disertai dengan manhaj yang benar dalam penafsiran, yaitu menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an kemudian dengan sunnah kemudian dengan pendapat para sahabat lalu tabi’in sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Muqoddimah (kata pengantar) yang diambil dari (Muqoddimatu Ushuulit Tafsiir) karangan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Katsiir menyusun tafsirnya bersumber dari Tafsiir Ibnu Jariir Ath Thobariy yang disepakati secara mutlak oleh para ulama bahwa Tafsiir Ibnu Jariir adalah tafsir yang terbesar dengan menghilangkan (membuang) sanad-sanad Ibnu Jariir, dan ditambah dengan Tafsiir Ibnu Abiy Haatim Ar Roozy pengarang Al Jarhu Wat Ta’diil) dan dari Tafsir Imam Al Jaliil Ibnu Mardawaih. Maka Tafsiir Ibnu Katsiir itu lebih mencakup buku-buku tafsir, disertai dengan pembelaannya terhadap aqidah para salaf dan mengandung pembahasan-pembahasan fiqh yang bagus. Dan Ibnu Katsiir itu seorang ahli hadits yang faqiih dan salafiy (bermanhaj salaf). Kebenarannya banyak dan kesalahannya sedikit saja dan tafsirnya adalah buku yang paling besar yang sangat membantu dalam memahami Kitab Alloh Ta’ala. Bukunya dicetak dalam 4 jilid.

2. Fat-hul Baariy Syarhu Shohiihil Bukhooriy, karangan Al Haafidz Ibnu Hajar Al Asqolaany rh. (802 H) dan buku itu adalah buku yang paling penting dalam (syarh) penjelasan hadits secara mutlak. Karena setiap babnya mengandung — ditambah dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy — hadits-hadits yang penting yang berkenaan/berhubungan dengan bab itu yang terdapat dalam kumpulan-kumpulan sunnah lainnya, berupa Kutubus Sittah (buku-buku enam hadits), musnad-musnad dan yang lain-lainnya, sebagaimana juga Al Bukhooriy menyebutkan perkataan-perkataan penting yang dikatakan oleh para pensyarah — orang-orang yang lebih dahulu daripada beliau, dan juga menukil perkataan dari pensyarah — kitab-kitab sunnah lainnya seperti Syarh An Nawawiy atas buku Shohiih Muslim, Syarh Al Khitoobiy karangan Sunan Abiy Dawud dan perkataan Al Baghowiy di dalam kitab (Syarhus Sunnah) dll. Juga disertai pembahasan secara terperinci pada masalah-masalah fiqh dan menyebutkan pendapat-pendapat para madzhab di dalamnya dan juga mengandung pembahasan-pembahasan secara bahasa dan masalah-masalah pada Mustholahul Hadits dan Ushul Fiqh. Dan kekurangannya dia mengikuti 2 madzhab Asy’ariyyah mengenai iman dan sifat-sifat Alloh, hal ini akan nampak dengan jelas dalam syarhnya terhadap dua pembahasan yang berjudul Kitaabul Iimaan dan Kitaabut Tauhiid dai dalam Shohiih Al Bukhooriy. Kekurangan ini dapat diketahui dengan memahami madzhab para salaf, sebagaimana juga kesalahannya kadang-kadang semena-mena di dalam membela madzhab Asy Syaafi’iy. Beberapa tempat yang di dalamnya menyelisihi dalil, contohnya, lihatlah penjelasannya pada bab Mas-hur Ro’si Kullihi (mengusap seluruh kepala) dalam Kitaabul Wudhuu’ di dalam Shohiih Al Bukhooriy (Hadits 185). Dan Fat-hul Baariy ini dicetak menjadi 14 jilid termasuk satu jilid untuk muqoddimah (kata pengantar) nya (yang berjudul Hadyus Saariy).

3. Al Mughniy, karangan Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy Al Hambaly (620 H) buku itu adalah Ensiklopedi Ilmu Fiqh yang mengandung penyebutan madzhab-madzhab para ulama dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang setelah mereka dari para madzhab-madzhab Fiqh Al-Arba’ah (4 madzhab Fiqh) dll dan mencakup seluruh masalah-masalah fiqh disertai dengan tarjih (pengambilan pendapat yang paling kuat) diantara pendapat-pendapat yang lain dan penyebutan dalil-dalilnya. Beliau kadang-kadang meroojihkan (menentukan pendapat yang kuat) madzhabnya Al-Hambali dan kadang-kadang menyelisihinya dan tidak semua yang dia roojihkan (tentukan pendapat) adalah benar, untuk membantu dalam membedakan hal ini dengan tarjiih-tarjiihnya Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana yang akan kami sebutkan insya Alloh, Al Mughniy dicetak hanya satu jilid, sedangkan cetakan yang disertai Syarh Al Kabiir ada 12 jilid, dan terdapat daftar isi yang dicetak tersendiri dalam dua jilid yang disusun sesuai urutan abjad yang membantu untuk mencari di dalamnya.

4. Majmuu’ Fataawaa, Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rh (728 H) dikumpulkan dan ditertibkan oleh ‘Abdur Rohmaan bin Muhammad bin Qoasim An Najdiy Al Hambaliy, dicetak dalam 35 jilid ditambah daftar isinya 2 jilid. Hal-hal yang penting dalam buku ini ada 3 hal:

Pertama: mengandung penjelasan yang detil (rinci) oleh madzhab salaf dalam masalah-masalah I’tiqod (keyakinan) yang berbeda-beda/bermacam-macam, disertai dengan penjelasan perkataan-perkataan kelompok-kelompok bid’ah dan kritikannya. Dan telah saya sebutkan pada bab ke IV bahwa Syaikhul Islam telah mengumpulkan apa-apa yang telah ditulis oleh para salaf sebelum beliau dalam masalah I’tiqod (keyakinan) dan darinyalah para penulis setelahnya mengambil pendapat dalam masalah keyakinan.
Kedua: banyaknya menyebutkan dalil-dalil syar’i terhadap pendapat-pendapat dan nukilan-nukilannya hingga hal ini menjadi manhaj yang tetap baginya. Telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa saya sarankan untuk banyak-banyak membaca karangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim karena di dalamnya terdapat pelatihan (pelajaran) dalam mengambil pendapat-pendapat dan dalil-dalilnya sehingga manhaj (metode) ini betul-betul tertanam pada diri pelajar (penuntut ilmu) dan di dalamnya terdapat manfaat-manfaat yang besar sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya.

Ketiga: mengandung tarjih (pengambilan pendapat yang kuat) pada sebagian besar masalah-masalah fiqih yang dibicarakan di dalamnya, dan sebagian besar tarjiih (pengambilan pendapat yang kuat)nya benar kecuali sedikit saja yang tidak, dan tarjiih-tarjiih (pengambilan pendapat yang kuat-kuat)nya telah banyak dikumpulkan oleh ‘Alaa-ud Diin Al Ba’liy Al Hambaliy (803 H), dan dijadikan satu dalam kitab tersendiri dengan judul (Al Ikhtiyaaroot Al Fiqhiyyah Min Fataawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah), di dalamnya terkumpul pilihan-pilihannya secara urut terhadap bab-bab fiqh yang sifatnya taqlid, kitab ini sudah dicetak dalam satu jilid yang ditahqiiq (sudah diteliti) oleh Syaikh Muhammad Haamid Al-Fiqiy rh, ceta. Daarul Ma’rifah.

Empat macam buku inilah yang paling penting dalam ilmu-ilmu Islam menurut saya, wallaahu a’lam. Buku-buku ini menempati kedudukan seperti ini karena cakupannya sebagian besar ilmu-ilmu syar’i yang ashliyah (dasar) maupun mustanbithoh (kesimpulan), maka di dalamnya terdapat tafsir, syarh (penjelasan) hadits, fiqh, I’tiqod (keyakinan), roqoiq (adab-adab amalan bathin), adab-adab syar’i, do’a-do’a, siroh (sejarah), Al-Maghozi (peperangan), Al-Manaaqib (Akhlaq-akhlaq — ), dll sehingga orang yang mencapai (meraih) apa-apa yang terdapat dalam buku-buku ini dia tidak akan kehilangan apapun yang termasuk ilmu Islam, dan sehingga seseorang yang ingin membahas suatu permasalahan yang syar’i lalu dia mengumpulkan apa-apa yang terdapat dalam buku-buku ini dia tidak akan kehilangan sedikitpun untuk mengetahui masalah ini pada umumnya, maka dari itu buku-buku ini banyak cakupan ilmunya daripada buku-buku lainnya dan buku-buku lainnya lebih sedikit cakupan ilmunya daripada buku-buku ini.

Untuk itu kami sarankan bagi setiap penuntut ilmu syar’i untuk menguasai 4 buku ini beserta daftar isi buku (daftar isi Al Mughniy, dan Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah).
Akan tetapi bagi penuntut ilmu yang masih pemula — walaupun juga disarankan untuk menguasai marooji’ (referensi-referensi) ini — Namun tidak baik untuk memulai mempelajarinya, maka hendaknya sebelum melakukan hal itu harus ada pengantar dan pendahuluan. Sebagaimana juga harus mempelajari ilmu-ilmu wasail pada tahapan-tahapan tertentu. Dari hal inilah kami menjadikan belajar ilmu syar’iif itu ada 3 tahapan sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya bersamaan dengan mengikuti tahapan-tahapan dalam belajar menjadikan seorang penuntut ilmu mampu untuk mempelajari 4 marooji’ (referensi) ini dan mengambil manfaat darinya. Inilah dan Alloh Maha Pemberi pentunjuk.

Masalah keenam: Nasehat-nasehat khusus berkenaan denganmempelajari buku-buku.

Pada masalah ini saya telah berbicara tentang sesuatu yang lebih detil lagi pada bab ke III, maka lihatlah di sana, akan saya paparkan di sini secara ringkas untuk mengingat kembali; saya katakan wajib bagi para penuntut ilmu untuk berusaha:
• Memahami perkataan yang benar tentang lafadz-lafadz dari nama-nama alam dan istilah-istilah, dll.
• Memahami tempat-tempat berhenti dan bersambungnya apa yang dia baca hingga tidak kehilangan maknanya.
• Memahami makna istilah-istilah ilmu yang dia pelajari, atau madzhab yang dia pelajari.
• Memahami makna (arti) yang dia baca dan hal-hal lainnya yang harus dilazimi (dilakukan) oleh pembaca di dalam memahami sebuah buku dan metode yang serupa untuk mendapatkan hal itu adalah dengan membaca buku Syaikh yang alim atau penuntut ilmu yang senior dan menanyakan kepadanya apa-apa yang musykil (sulit) dipahami oleh penuntut ilmu. Asy Syaathibiy berkata: “Itu adalah arti perkataan orang yang berkata: “Awalnya, ilmu itu berada di dalam dada orang-orang, kemudian berpindah kepada buku maka jadilah kunci-kuncinya itu berada di tangan orang-orang.

Dan kitab (buku) saja tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun kepada penuntut ilmu tanpa ada yang membukanya dari para ulama (Al Muwaafaqoot I/97).
Apabila anda tidak bisa membaca buku melalui Syaikh atau mendengarnya, sesungguhnya hal-hal yang membantu bagi penuntut ilmu untuk memahami materi (isi) buku itu ada 2 hal:
Pertama: untuk tidak mulai mempelajari suatu ilmu dengan mempelajari matan (isinya) atau ringkasan pendeknya, akan tetapi memulainya dengan membaca syarh mutawasith (penjelasan yang sedang, tidak terlalu singkat dan tidak terlalu terlalu panjang), karena matan-matan (isi-isi) dibuat agar dapat dijelaskan isinya oleh para pengajar.

Kedua: untuk banyak-banyak membaca buku-buku yang materinya sama pada waktu yang sama, barangkali ada sesuatu yang tidak jelas pada satu kitab namun mungkin diterangkan dalam buku yang lain.
Termasuk yang kami sarankan juga bagi penuntut ilmu untuk meringkas apa yang dipelajari dari setiap ilmu di dalam daftar (buku catatan) khusus yang di dalamnya disebut program-program judul, masalah-masalah yang paling penting dan dalil-dalilnya secara ringkas, juga disebutkan maroji’nya pada setiap permasalahan berupa nama buku, jilid, nomor hal, dan cetakannya yang memudahkan untuk mengulang kembali atau untuk mencari keterangan yang lebih rinci lagi. Dan buku catatan ini yang disebutkan ringkasan dan maroji’nya (referensi) lebih mudah bagi penuntut ilmu untuk membawanya apabila dia ingin bersafar atau berpindah ke negara lain.
Inilah apa yang kami sarankan bagi penuntut ilmu ketika mempelajari sebuah buku. Dan hanya Allohlah yang dapat memberi hidayah.

PASAL II : Buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan pertama

Pada tingkatan belajar ini — sebagaimana yang telah kami sebutkan pada pasal sebelumnya — khusus bagi orang awam sebagaimana hal itu dimasukkan pada tahapan pertama di dalam menuntut ilmu bagi tholibul ‘ilmi (penuntut ilmu).
Karena tingkatan ini khusus bagi orang awam, maka hendaknya dibatasi hanya ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain saja, dan tujuan mempelajarinya adalah dapat menguasai ilmu yang wajib bagi setiap muslim.
Dan telah saya sebutkan pada pasal kedua dari buku ke II pada buku ini bahwa ilmu yang fardlu ‘ain terbagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Ilmu yang Fardhu ‘ain untuk orang-orang awam, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh kaum muslimin yang mukallaf (mendapat beban perintah). Pada setiap waktu dan tempat. Inilah bagian yang setelah mengetahuinya wajib pertama kali untuk dilaksanakannya.
2. Ilmu Fardhu ‘ain untuk orang-orang tertentu. Ini adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan apa yang dia tekuni – atau profesi yang dia geluti, maka dalam hal ini kewajiban seseorang berbeda dengan orang yang lainnya.
3. Ilmu-ilmu tentang Ahkamun Nawaazil (hukum-hukum yang terjadi secara insidental). Orang yang menghadapinya hendaknya meminta fatwa tentang itu ketika terjadi, untuk bagian pertama: Ilmu Fardlu ‘ain untuk orang umum.
Dan juga telah saya sebutkan judul-judul penting pada masalah kelima dari pasal kedua dalam bab ke II, kami ulangi lagi di sini secara ringkas, yaitu:

1. Memahami 5 Rukun Islam, diantaranya adalah memahami makna 2 kalimat syahadat.
2. Memahami 6 Rukun Iman.
3. Memahami macam-macam Tauhid dan syarat-syarat sahnya.
4. Memahami hal-hal yang merusak Islam dan sesungguhnya mengingkari thoghut dan macam-macamnya adalah syarat sahnya Islam.
5. Memahami ibadah-ibadah hati yang wajib.
6. Menghafal surat Al-Fatihah, karena hal itu termasuk salah satu rukun sholat.
7. Memahami hukum-hukum Thoharoh (bersuci), sekedar supaya sah thoharohnya bukan untuk berfatwa dalam masalah thoharoh.
8. Memahami hukum-hukum sholat sekedar supaya sah sholatnya bukan untuk berfatwa dalam masalah tersebut.
9. Memahami hukum-hukum puasa sekedar supaya sah puasanya bukan untuk berfatwa dalam masalah tersebut.
10. Memahami hukum-hukum mayyit, yang kadang-kadang menjadi fardhu ‘ain pada suatu waktu.
11. Memahami syarat-syarat wajib zakat, apabila sudah wajib untuk dizakati maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
12. Memahami syarat-syarat wajib haji, apabila sudah wajib untuk berhaji maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
13. Memahami syarat-syarat wajib jihad, apabila sudah wajib untuk berjihad maka harus mempelajari hukum-hukumnya.
14. Memahami kewajiban-kewajiban dan adab-adab syar’i tertentu.
15. Memahami hal-hal yang diharamkan berupa perkataan dan perbuatan, makanan, minuman dan pakaian dan hal-hal yang diharamkan berupa pekerjaan-pekerjaan maupun usaha-usaha dalam mencari kebutuhan hidup, serta hal-hal yang diharamkan yang lainnya.
16. Memahami kewajiban taubat dari setiap dosa yang nampak maupun tidak nampak dan memahami syarat-syarat sahnya taubat.
Sedangkan buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari oleh seorang muslim dalam tema (permasalahan-permasalahan ini) adalah:

1. Buku Al ‘Aqiidah Al Waasithiyyah oleh Ibnu Taimiyyah, atau buku Lum’atul I’tiqood oleh Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy untuk mempelajari 6 rukun iman.
2. Buku At Tauhiid Haqqullohi ‘Alal ‘Abiid dan buku Al Kasyfusy Syubuhaat Fit Tauhiid serta buku Al Ushuul Ats Tsalaatsah Wa Adillatuhaa. Semuanya karangan Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab. Buku ini untuk memahami makna dua kalimat syahadah, macam-macam tauhid, hal-hal yang merusak Islam dan ibadah-ibadah hati yang wajib.
3. Buku Al ‘Uddah Syarhul ‘Umdah karangan Baha-ud Diin Al Maqdisiy, 624 H, Kitab Al ‘Uddah ini adalah merupakan penjelasan untuk Kitab Al ‘Umdah karya Al Muwaffaq bin Qudaamah Al Hambaliy, 620 H, ini untuk mempelajari hukum-hukum Fiqh yang wajib, yaitu hukum-hukum thoharoh (bersuci), sholat, jenazah, zakat, puasa, haji dan jihad sesuai dengan apa yang kami singgung di atas.
4. Buku Riyaadlus Shoolihin karya An Nawawiy, untuk memahami ibadah-ibadah hati yang wajib (yaitu pada kira-kira 1/5 bagian pertama), mempelajari muharomat (hal-hal yang diharamkan) (yaitu pada kira-kira 1/5 bagian terakhir), mempelajari adab-adab syar’i yang wajib (yaitu bisa pada bagian yang lainnya) dan mempelajari syarat-syarat ribat (yaitu pada awal kitab).
Maka inilah buku-buku penting yang kami sarankan pada tahapan dalam belajar ini. Apabila kita membaginya sesuai dengan jenis-jenis (ciri-ciri) ilmu dan kami tambahkan dengan buku-buku lain yang bermanfaat yang sesuai untuk orang-orang awam, maka pembagiannya seperti ini:
Pertama: pada masalah Aqidah

1. Al ‘Aqiidah Al Waasithiyyah karya Ibnu Taimiyyah, lalu jika memungkinkan untuk dapat membaca keterangannya pada tingkatan ini maka di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak.
2. At Tauhiid Haqqulloh ‘Alal ‘Abiid karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, apabila memungkinkan bisa juga membaca syarhnya pada tingkatan ini maka di dalamnya terdapat banyak kebaikan, dan sebaik-baik syarhnya (penjelasannya) — menurut saya — adalah kitab Fat-hul Majiid Syarhu Kitaabit Tauhiid karya ‘Abdur Rohmaan bin Hasan Alu Syaikh.
3. Kasyfusy Syubuhaat Fit Tauhiid karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab.
4. Al Ushuul Ats Tsalaatsah Wa Adillatuhaa karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab. Buku-buku ini telah kami sebutkan di atas dan ini sangat penting bagi setiap muslim, kami tambahkan:
5. Thath-hiirul Jinaan Wal Arkaan ‘An Darmisy Syirki Wal Kufroon karya Ahmad bin Hajar Alu Buthomiy.
6. Kitab Da’watut Tauhiid karya Syaikh Muhammad Koliil Harroos.
7. Silsilatut Taujiihaat oleh Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainu, ini terbagi menjadi beberapa jilid yang ringkas dan bermanfaat.
8. Risalah Autsaqu ‘Urol Iimaan karya Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, Risalah Hukmu Muwaalaati Ahlil Isyrook karya Syaikh Sulaimaan bin ‘Abdulloh bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, Risalah Sabiilun Najaat Wal Fikaaki Min Muwaalaatil Murtadin Wa Ahlil Isyrook karya Syaikh Hamad bin ‘Atiiq An Najdiy. Risalah- risalah ini adalah risalah yang keenam, kesebelas dan keduabelas dalam Majmuu’atut Tauhiid karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Semua kumpulan risalah-risalah ini sangat bermanfaat jika mudah dalam membacanya, apabila tidak mendapatkannya maka bacalah permbahasan Al Muwaalaat (loyalitas) dan Al Mu’aadaat (permusuhan) pada kitab Al Walaa’ Wal Baroo’ Fil Islaam oleh Muhammad bin Sa’iid Al-Qohthooniy.

Dan pembahasan Al Muwaalaat (loyalitas) dan Al Mu’aadaat (permusuhan) adalah tujuan yang paling penting, yaitu amal praktek dalam mengingkari thoghut dan iman kepada Alloh, artinya dalam masalah aqidah tauhid. Dan kewajiban syar’i bagi setiap muslim yaitu harus berwala’ (loyal) kepada orang-orang mu’min dan membela mereka, dan harus memusuhi, membenci, dan memerangi orang-orang kafir, maka melalaikan pelaksanaan kewajiban ini menyebabkan kepada kerusakan yang besar pada zaman ini, karena banyak orang yang mengaku Islam telah berwala’ (loyal) kepada orang-orang kafir dan memusuhi orang-orang mu’min bahkan sampai menyebabkan kepada kekuasaan orang-orang kafir atas orang-orang mu’min yang tertindas di seluruh penjuru dunia. Mereka menimpakan adzab yang jelek dengan tangan-tangan orang-orang yang mengaku-ngaku Islam. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa barang siapa yang membantu seorang kafir melawan seorang muslim maka dia telah kafir karena pertolongannya ini tanpa memandang apa yang terjadi dengan hatinya, dan akan datang keterangan hukum dalam masalah ini pada pembahasan pelajaran Aqidah di tempat yang lain pada pasal selanjutnya insya Alloh..

Bentuk dalam berwala’ (loyal) dan bermusuhan itu banyak sekali, dapat diketahui dalam buku-buku yang membicarakannya, dan seorang muslim tidak akan dapat melaksanakan kewajiban ini dengan benar kecuali dengan memisahkan orang mu’min dari orang kafir dan ini wajib secara dzatnya. Kami tidak menuntut orang-orang awam (umum) untuk berfatwa dalam masalah ini. Namun masalah ini wajib untuk diperhatikan dalam pikiran-pikiran (otak-otak) mereka ketika bermu’amalah (bersosialisasi) dengan manusia dengan interaksi yang membutuhkan akan pemahaman diin mereka, seperti memahami keadaan para penguasa dan kewajiban-kewajiban yang menjadi cabang-cabangnya, sebagaimana juga dalam permasalahan nikah, jenazah, pewarisan, imam sholat, perserikatan dan persewaan serta yang lainnya. Dan tidak menuntut untuk membelah dadanya untuk mengetahui keadaan, akan tetapi barangsiapa yang bodoh dalam urusannya atau nampak keragu-raguan hendaknya dikoreksi keadaannya, dan seorang yang awam meminta fatwa kepada orang yang berilmu dalam permasalahannya, ini semua termasuk bab wajib berilmu sebelum perkataan dan perbuatan.

Kedua: pada ilmu Al Qur’an
1. Tafsiir Al Jalaalain yang tanpa catatan kakinya, ini adalah tafsir yang ringkasan yang mudah yang sesuai dengan orang-orang awam.
2. Risalah yang membahas tentang tajwid seperti At Tajwiid Al Muyassar oleh Syaikh ‘Abdul Aziiz Al Qori. Hukum-hukum tajwid itu harus didengar langsung dari syaikhnya jika tidak maka dari kaset rekaman yang khusus dalam hal itu ketika tidak bisa langsung.

Ketiga: pada ilmu Hadits
1. Al Arba’un An Nawawiyah yang disertai dengan penjelasan singkat. Apabila seorang yang awam ingin menambah maka hendaknya membaca syarh (keterangan) nya secara terperinci yang telah disempurnakan oleh Ibnu Rojab Al Hambaliy dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam karena di dalamnya banyak mengandung kebaikan.

2. Sedangkan dalam Mustholah Hadits; Maka tidak ada kewajiban bagi seorang yang awam kecuali memahami macam-macam hadits yang diterima dan yang tidak. Karena sesungguhnya orang-orang zindiq dan bid’ah telah membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW dan sesungguhnya ada beberapa perowi hadits yang tidak dapat dipercaya keshohihannya oleh para ulama – Terhadap apa yang dia nukil baik karena cacat sifat adil mereka maupun cacat karena tidak memiliki ingatan yang kuat dalam pernyataan mereka. Dan karena sebab-sebab inilah para ulama membuat kaidah-kaidah hukum terhadap hadits, dan menyusun macam-macam hadits menjadi shohih, hasan dan dlo’iif, untuk yang shohih dan hasan keduanya dapat diterima dan diamalkan sedangkan yang dlo’iif tertolak.

Keempat: pada ilmu Fiqh
1. Kitab Al ‘Uddah Syarhul Umdah karangan Bahaa-ud Diin Al Maqdisiy dan telah saya sebutkan sebelumnya. Atau kitab As Salsabiil Fii Ma’rifatid Daliil karangan Syaikh Shoolih bin Ibrohim Al Bulaihiy, buku itu adalah syarh (penjelasan) untuk matan (redaksi) Zaadul Mustaqni’ karya Syaikh Syariifud Diin Al Hajjaawiy, 968 H, sedangkan buku Zaadul Mustaqni’ adalah Mukhtashor (ringkasan) dari Kitab Al Mughniy oleh Ibnu Qudaamah Al Maqdisiy 620 H.

Dan kitab As Salsabiil ungkapannya mudah, menyebutkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah, menyebutkan pendapat-pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga pendapat-pendapat yang dipilih oleh muridnya yakni Al Allaamah Ibnul Qoyyim, sebagaimana juga kadang-kadang menunjukkan pendapat-pendapat madzhab lain secara ringkas dan juga menyebutkan pendapat yang kuat (roojih) pada setiap permasalahan yang tidak membuat bingung bagi penuntut ilmu. Buku ini dicetak dalam 3 jilid yang sedang-sedang.
2. Sedangkan Ushul Fiqh — sebagaimana yang telah saya sebutkan pasal yang lalu — seorang yang awam tidak wajib memahaminya kecuali sekedar mengetahui 5 macam Al Hukmut Takliifiy — yaitu wajib, manduub, mubaah, makruuh dan haram, serta maksud dari setiap hukum tersebut —.

Kelima: Ar Roqoo-iq (adab-adab bathin) dan Al Aadaab Asy Syar’iyyah (adab-adab dhohir).
1. Riyaadlus Shoolihiin oleh Imam An Nawawiy.
2. Mukhtashor Minhaajul Qooshidiin karya Ahmad bin Muhammad bin Qudaamah 742 H, buku ini merupakan ringkasan dari buku Minhaajul Qooshidiin karya Ibnul Jauziy dan buku ini ringkasan dari Ihyaa-u ‘Uluumud Diin karya Abu Haamid Al Ghozaaliy. Saya sarankan untuk membaca teks yang sudah ditahqiiq (diedit) dari kitab Mukhtashor Minhaajul Qooshidiin melihat buku itu banyak mengandung hadits-hadits dho’iif (lemah).

Keenam: Al Adzkaar (dzikir-dzikir) dan Al Ad’iyah (do’a-do’a)
1. Al Kalimuth Thoyyib oleh Ibnu Taimiyyah, yang hadits-haditsnya telah ditakhriij oleh Al Arna-uuth.

Ketujuh: Masalah-masalah kontemporer yang harus diketahui hukum-hukumnya.
1. Berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Alloh yaitu dengan undang-undang ciptaan manusia, merupakan kufur akbar, barangsiapa yang membuat undang-undang ciptaan manusia atau yang menerapkan hukum dengan undang-undang ciptaan manusia atau menyeru untuk berhukum dengannya, atau berhukum kepadanya dan ridho terhadapnya, atau membelanya. Mereka semua adalah kafir keluar dari agama Islam. Dan akan datang keterangan yang ringkas untuk dalil-dalil hukum ini dalam tema yang keempat dari pembahasan ke delapan pada pasal selanjutnya, insya Alloh.

Hal ini mengakibatkan larangan beramal berdasarkan undang-undang ciptaan manusia dan larangan memutuskan perkara dengannya dan berhukum kepadanya serta larangan bekerja pada lembaga-lembaga yang menggunakannya sebagai dasar hukum, seperti lembaga pengadilan dan juga larangan melaksanakan apa-apa yang telah diputuskan oleh para hakim.

Sebagaimana juga hal ini berdampak wajibnya mencopot para hakim kafir yang melaksanakan hukum dengan undang-undang ini dan wajib mengangkat para hakim yang muslim yang melaksanakan hukum dengan syariat untuk menduduki jabatan mereka, apabila mengganti hakim yang kafir tidak bisa kecuali dengan perang. Karena dia mumtani’ bisysyaukah wal a’wan (mempertahankan diri dengan kekuatan dan pendukung). Kewajiban memeranginya menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim, karena status hukumnya sama sebagai kafir musuh yang menduduki negeri kaum muslimin. Hukum perang ini adalah fardhu ‘ain yang apabila keadaannya tidak mampu untuk melakukannya wajib melakukan I’daad untuk menegakkannya.
Dan wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui pemimpin negaranya, karena Alloh mewajibkan untuk taat kepada pemimpin muslim dan bersabar terhadapnya walaupun dia bermaksiat, dan karena Alloh mewajibkan untuk mengganti pemimpin kafir dan memeranginya jika bisa menggantinya kecuali dengan peperangan.

Dan bacalah dalam hal ini: Risaalah Tahkiimul Qowaaniin, karya Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh.
2. Demokrasi : yaitu undang-undang ciptaan manusia yang menyelisihi syariat dan dibuat oleh orang-orang kafir, dan konsekuensinya adalah memberikan hak mutlak kepada manusia untuk membuat undang-undang. Hal itu bertolak belakang dengan dienul Islam yang hak membuat syariat adalah Alloh Ta’ala. Maka demokrasi itu merupakan kufur akbar, statusnya sama seperti status undang-undang ciptaan manusia, bahkan hal itu menyelisihi dienul Islam karena melakukan (merefleksikan) kesyirikan yang shorih (jelas) dari segi Rubuubiyah. Alloh Ta’ala berfirman:

اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ
“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Robb selain Alloh” (QS. At-Taubah:31).
Yang dimaksud Rubuubiyah di sini adalah membuat syariat selain Alloh. Alloh Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka berupa dien yang tidak diizinkan oleh Alloh” (QS. Asy-Syuro:21).
Dan setiap sarana-sarana yang digunakan untuk menerapkan demokrasi hukumnya sama, seperti mendirikan partai-partai politik dan membentuk Majlis Perwakilan (Parlemen), ikut serta dengan partai ini atau dalam pemilihan majlis perwakilan dengan mencalonkan diri atau mengikuti pemilu, semua ini merupakan kufur akbar baik orang yang melakukannya atau mengajak dan membujuk manusia untuk melakukannya, atau rela dengannya meskipun dia tidak melakukannya. Karena semua ini termasuk sarana untuk mewujudkan demokrasi yang merupakan dien (agama) orang-orang kafir dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang terjerumus ke dalam hal ini, yang mereka keluar dari dienul Islam dan masuk ke dalam dien kafir selama mereka rela dengan demokrasi dan prasarananya. Walaupun salah seorang diantara mereka sholat dalam satu hari sebanyak seribu rakaat atau dia mengkhatamkan Al Qur’an seratus kali dalam satu hari, dien adalah kafir. Alloh Ta’ala berfirman:

ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون
“Dan tidaklah kebanyakan mereka itu beriman kepada Alloh (kecuali mereka musyrik)” (QS. Yusuf:106).
Dan kajilah kembali apa yang saya sebutkan dari tema ini pada masalah niat di awal bab ke IV dan buku ini dan pada pembahasan ke delapan dari pasal selanjutnya, insya Alloh.
3. Nyanyian-nyanyian cabul dan musik yang menggunakan berbagai macam alat, harom mendengarkannya dan itu merupakan dosa besar karena adanya ancaman yang menyebutkannya, juga diharamkan menyibukkan diri dengannya, menjualnya dan mencari mata pencaharian darinya.

Tidak ada pengecualian dalam musik kecuali ad duff (rebana) untuk menyiarkan adanya pernikahan dan khusus bagi para wanita tidak boleh berbaur dengan para lelaki.
Hal ini bisa dibaca dalam buku Tanziihusy Syarii’ah ‘An Ibaahatil Aghoony Al Kholii’ah karya Ahmad bin Yahya An Najmiy, itu adalah kitab yang simpel namun mencakup seluruh tema permasalahan.
4. Membiarkan jenggot wajib bagi para laki-laki, karena adanya perintah dalam hal itu, dalam hal ini banyak bukunya, yang paling mudah adalah I’faa-ul Lihaa Wa Qosh-shu Syawaarib karya ‘Abdur Rohmaan bin Qosim An Najahi penyusun fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.

5. Menghisap rokok dan cigaret atau dengan mengunyahnya semua itu haram, juga berdagang dan mencari mata pencaharian dengannya adalah haram.
Hal ini dapat dibaca dalam fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh dalam haramnya rokok dan cigaret, dan risalah-risalah semacam itu.
6. Hijaab dan niqoob bagi para wanita adalah wajib, banyak risalah dalam masalah ini, saya akan membicarakannya pada pembahasan ke delapan pada pasal selanjutnya, insya Alloh.

Kedelapan: Kondisi ummat Islam pada hari ini.
Wajib bagi setiap individu muslim untuk mengetahui kondisi alam (dunia) ini, dan kondisi negeri yang dia tinggal di dalamnya karena adanya pemahaman kondisi itu menimbulkan kewajiban-kewajiban syar’iy.
Untuk memahami kondisi negeri yang dia tinggal di dalamnya. Telah kami singgung pada masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, dan masalah demokrasi beserta prasarananya.
Sedangkan memahami kondisi dunia, maka wajib memahami program-program orang-orang kafir dan tipu daya mereka terhadap kaum muslimin, supaya seorang muslim dapat menghindarinya. Alloh Ta’ala berfirman:
وكذلك نفصل الآيات و لتستبين سبيل المجرمنين
“Dan begitulah kami menjelaskan ayat-ayat kami dan supaya kamu memahami jalan orang-orang yang jahat” (QS. Al-An’aam:55).

Begitu juga memahami keadaan kaum muslimin di seluruh dunia supaya dapat menegakkan kewajiban-kewajiban syar’i bagi mereka berupa pertolongan dan bantuan yang memungkinkan, karena kaum muslimin — walaupun mereka dibatasi oleh batasan wilayah politik yang mereka buat-buat — mereka adalah satu ummat (bangsa) dan satu jasad, apabila salah satu anggota badannya sakit maka seluruh anggota badan juga terasa sakit. Oleh karena hal ini, maka orang yang tidak terpengaruh dengan keadaan kaum muslimin di dunia ini bukan termasuk bagian dari tubuh ini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sama sekali tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin? Rosululloh SAW bersabda:

مثل المؤمن في توادهم و تراحمهم و تعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر و الحمى
“Perumpamaan orang mu’min dalam kasih sayang, kecintaan dan kesantunan mereka seperti tubuh, apabila salah satu anggota badannya terasa sakit maka seluruh badan akan merasakan dengan susah tidur dan demam”. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Dan jasad itu adalah umat Islam, maka barangsiapa tidak terpengaruh dengan apa yang menimpa mereka dia bukan termasuk golongan mereka.

Dalam tema permasalahan ini banyak sekali buku-bukunya, kami sebutkan diantaranya sebagai contoh:
1. Maadzaa Khosirol ‘Aalam Bi Inhithoothil Muslimiin, karya Abu Hasan An Nadawiy.
2. Al Mukhoththootul Isti’maariyah Li Mukaafahatil Islaam, karya Muhammad Mahmuud Ash Showwaf.
3. Al Ghoorootu ‘Alal ‘Aalam Al Islaamiy, terjemah Muhibbuddin Al Khotib dan Mursaaid Al Yafi.
4. Qoodatul Ghorbi Yaquuluuna: Dammirul Islaam Wa Abiiduu Ahlahu, karya Jalaal Al Alim.
Dan buku-buku yang semisalnya disertai berita-berita dunia Islam.

Inilah apa yang kami sarankan untuk dipelajari pada tingkatan pertama dari tingkatan-tingkatan belajar yang syar’i yang khusus untuk orang-orang umum (awam) dari kalangan kaum muslimin, buku-buku ini tidak banyak. Namun kebanyakan orang banyak menyia-nyiakan waktu mereka pada hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan yang membahayakan mereka. Dan Rosululloh SAW telah bersabda:
نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة و الفراغ
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia melalaikannya: kesehatan dan waktu luang” (HR. Al Bukhooriy dan Ibnu ‘Abbaas ra. no. 6412).

Dan manusia membutuhkan orang-orang yang mengingatkan dan membangunkan mereka dari kelalaian mereka untuk kembali menuntut ilmu yang wajib bagi mereka yang di dalamnya terdapat kebahagiaan mereka baik di dunia maupun di akherat, dan hakekat ilmu adalah yang dinamakan “Miftaahu Daaris Sa’aadah” (kunci pintu alam kebahagiaan) sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim rh dalam kitabnya yang beliau namakan dengan nama tersebut. Barangsiapa diantara kaum muslimin ada yang bisa membaca maka silahkan membaca buku-buku ini sendirian atau bersama Syaikh atau bersama seorang thoolibul ‘ilmi (menuntut ilmu) yang sudah dahulu (senior). Dan barangsiapa yang buta huruf tidak bisa membaca, maka hendaknya meminta bantuan kepada orang yang dapat membaca buku-buku ini walaupun harus membayar atau walaupun harus menempuh perjalanan, karena suatu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan dengan sebuah sarana maka sarana tersebut menjadi wajib. Setelah itu yang tersisa adalah tambahan dan peringatan:

Sedangkan tambahannya adalah apa yang telah kami sebutkan pada bab ke III dari buku ini, masalah (Kewajiban Orang Awam Dalam Menyampaikan Ilmu), yaitu bahwa setiap orang-orang yang meraih suatu ilmu yang wajib baginya hendaknya menyampaikannya kepada orang yang tidak mengetahuinya dan mengajarkan kepada keluarga dan anak-anaknya secara khusus, karena Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim:6).
Rosululloh SAW juga bersabda:
كلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته
“Setiap diri kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban (ditanyakan) tentang kepemimpinannya” (HR. Muttafaqun ‘Alaihi).

Sedangkan peringatannya adalah:
Bahwa sesungguhnya buku-buku yang saya sebutkan dalam bab ini atau dalam buku saya ini, bukan berarti penyebutanku tentang buku tersebut atau saranku untuk membacanya merupakan sebuah tazkiyyah (rekomendasi / pujian) saya terhadap pengarangnya atau terhadap seluruh apa yang ditulis oleh pengarang buku tersebut, akan tetapi ini hanyalah merupakan tazkiyyah (rekomendasi / pujian) saya terhadap kitab tersebut. Apabila dalam buku yang saya sarankan untuk membacanya terdapat cacat atau kesalahan yang nampak akan saya peringatkan, insya Alloh.

Beginilah, dan barangsiapa yang sudah selesai mempelajari buku-buku pada tingkatan pertama tersebut, dan Alloh telah membukakan hatinya untuk menambah dalam menuntut ilmu maka hendaknya segera melanjutkan untuk mempelajari buku-buku pada tingkatan ke dua kemudian ketiga:
ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kepada seseorang dengan kebaikan Alloh akan memahamkan dien kepadanya”.
Dan hanya Allohlah Maha Memberi petunjuk.

Diterjemahkan oleh Muhammad Ar Rohiil
LP Cipinang, 29 Mei 2005, dari kitab Al Jaami’ Fii Tholabil ‘Ilmisy Syariif, Ayaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz VII/1 – 31

Filed under: Nasehat tuk penuntut ilmu, tazkiyah

TIDAK SEMBARANG MEMVONIS

وَلاَ نُنَزِّلَ أَحَداً مِنْهُمْ جَنَّةً وَلاَ نَاراً، وَلاَ نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلاَ بِشِرْكٍ وَلاَ بِنِفَاقٍ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى
(78) Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka sebagai penghuni surga atau neraka. Kami pun tidak memvonis mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama pada diri mereka tidak tampak kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.
Ahlussunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang dari Ahlikiblat sebagai penghuni surga atau neraka, kecuali mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah saw sebagai penghuni surga atau neraka; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan beberapa orang sahabat lainnya. Ahlussunnah tetap meyakini bahwa di antara para pelaku dosa besar, selagi masih mukmin muwahid, ada yang dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka, lalu diangkat—dikeluarkan dari neraka setelah dibersihkan dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, baik karena mendapatkan syafaat maupun karena sudah bersih dari dosa.
Menurut akidah Ahlussunnah, perkara surga-neraka adalah perkara yang menyangkut hakikat batin dan hal gaib. Hanya Allah yang mengetahui hakikat batin seseorang dan hanya Dia pula yang mengetahui segala yang gaib. Ahlussunnah berpegang kepada firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (Al-Isra`: 36)
Tiga madzhab
Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan Salaf mengenai pemastian Ahlikiblat menjadi penghuni surga. Para Salaf terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, mereka yang hanya memastikan para nabi sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hanafiyah dan al-Awza’i.
Kedua, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi, siapa-siapa yang disebut sebagai penghuni surga dalam nash pun dipastikan sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan para ahli hadits. Inilah pendapat pertengahan dan yang paling kuat.
Ketiga, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi dan orang-orang yang disebut dalam nash, orang-orang yang disaksikan oleh orang-orang yang beriman sebagai penghuni surga pun mereka pastikan sebagai penghuni surga. Pendapat ini disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berbunyi, “Serombongan orang memikul jenazah. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ Kemudian serombongan orang memikul jenazah yang lain. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang tidak baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ ‘Umar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang begitulah?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Jenazah yang kalian sebut baik itu akan masuk surga, sedangkan yang kalian sebut tidak baik itu akan masuk neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi.’.”
Pendapat yang ketiga ini tidak kuat lantaran kesaksian orang-orang yang ditinggalkannya sebagai penghuni surga hanya menempati posisi doa atau syafaat, dan tidak dapat memastikannya sebagai penghuni surga.
Kasus yang pernah terjadi pada masa Nabi tersebut tidak dapat dijadikan dalil umum. Selain mungkin itu berlaku khusus untuk dua jenazah yang dipikul melewati Nabi beserta para sahabat pada waktu itu, bisa jadi juga Nabi mengetahuinya karena mendapatkan wahyu dari Allah.
Demikianlah akidah Ahlussunnah mengenai Ahlikiblat yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala, Ahlussunnah tidak ragu dalam memastikan mereka sebagai penghuni neraka.
Tidak sembrono memvonis kafir-musyrik-munafik
Memvonis salah seorang Ahlikiblat sebagai seorang kafir, musyrik, atau munafik adalah sama. Sama-sama memastikannya sebagai seseorang yang telah keluar dari Islam dan nihilnya iman dari hatinya. Ketiga-tiganya—orang kafir, musyrik, dan munafik akbar—adalah penghuni neraka selama-lamanya. Bahkan munafik akbar mendapatkan tempat di dasar neraka. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa`: 145)
Jika mendapati seseorang dari kalangan Ahlikiblat melakukan perbuatan kufur, syirik, atau nifak, Ahlussunnah menyatakan bahwa pada diri orang itu ada kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Pada saat itulah amar makruf nahyi munkar dan al-wala` wal bara` ditegakkan. Kemungkaran diingkari dan kepada pelakunya diterapkan bara` sekadar dengan kemungkaran yang mereka lakukan.
Adalah sahabat Hudzaifah bin Yaman ra yang diberitahu oleh Rasulullah saw mengenai siapa saja penduduk Madinah yang munafik. Umar bin Khattab ra mengetahui hal itu. Maka ia berusaha mencari tahu dan mendesak Hudzaifah untuk memberitahunya. Namun Hudzaifah menolak, karena menjaga rahasia itu adalah amanat dari Rasulullah saw. Oleh karena itulah, lantaran kecintaan Umar kepada kebenaran dan kebenciannya kepada kemunafikan, jika ada penduduk Madinah yang meninggal dunia, ia tidak terburu-buru menyalatinya sampai Hudzaifah menyalatinya. Jika Hudzaifah tidak menyalatinya, Umar pun tidak menyalatinya. Hal ini hanya dilakukan oleh Umar, sahabat yang lain tidak mengikuti cara Umar. Mereka tetap menyalati siapa saja dari penduduk Madinah yang meninggal dunia.
Sikap Hudzaifah dan Umar adalah sikap pribadi. Hudzaifah diberitahu tentang kepastian nihilnya iman dari hati orang-orang yang tidak disalatinya dari Rasulullah saw. Sedangkan Umar, dia “hanya” tidak mau menyalati mereka, bukan memvonisnya sebagai munafik.
Meskipun tidak sebarang memvonis personal, Ahlussunnah tetap memvonis kafir secara umum (takfir mutlak); yakni mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan kufur akbar, syirik akbar, atau nifak akbar maka ia adalah seorang kafir, musyrik, atau munafik.
Menyerahkan urusan hati kepada Allah
Jika di antara orang-orang yang tetap dinyatakan sebagai orang-orang yang beriman (tidak divonis kafir, musyrik, atau munafik) itu ternyata ada yang sebenarnya sudah kafir, musyrik, atau munafik dalam pandangan Allah, maka Ahlussunnah tidaklah salah langkah. Urusan hati mereka adalah urusan Allah. Ahlussunnah mengurus zhahirnya. Yang demikian itu karena Ahlussunnah menghukumi (orang lain) berdasarkan zhahirnya.
Usamah bin Zaid ra bertutur, “Rasulullah saw mengirim kami dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi hari. Aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah,’ tetapi aku tetap membunuhnya. Kejadian itu menggelisahkanku sehingga aku sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bertanya, ‘Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ dan engkau tetap membunuhnya?’ Kujawab, ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?’ Beliau terus mengulangi perkataan itu kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak diperintah untuk membedah hati orang dan membelah dada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Zhahir seorang mukmin adalah mukmin meskipun ia melakukan berbagai dosa; termasuk dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan, sampai diketahui—dengan cara Ahlussunnah—bahwa di hatinya sudah tidak ada iman lagi. Seorang mukmin bisa saja melakukan dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaannya sehingga pada saat itu ia tidak boleh divonis kafir, musyrik, atau munafik. Wallahu a’lam.
Imtihan Syafi'i, Kolom | Tagged hukum memvonis, syarh aqidah thahawiyah, tidak sembarang memvonis

Jumat, 13 Mei 2011

Agar Hati Tidak Terkunci Mati

كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS al-Muthaffifin: 14)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan meninggalkan bercak hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan perbuatan itu dan beristighfar kepada Allah, maka hatinya akan kembali bersih. Jika ia terus melakukan dosa, maka bertambah pula bercak hitam di hatinya, sehingga bercak hitam itu menutupi hatinya. Itulah ’rona’ hati yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Bermula Dari Satu Bercak Dosa
Pengaruh dosa bagi hati, tak ubahnya penyakit yang menggerogoti jasad. Jika penyakit terus bertambah, stamina semakin turun dan kematian segera datang. Begitupun matinya hati, dosa demi dosa akan mengatarkan hati menuju kematiannya. Seperti banjir, yang diawali oleh satu tetes hujan, kemudian disusul dengan tetesan lain yang terus menerus, itu pula pula yang terjadi dengan bencana yang menimpa hati. Setiap dosa menyumbang satu bercak hitam yang menutupi kejernihan hati. Makin banyak bilangan dosa yang dilakukan, makin dominan pula bercak hitam yang menutupi hati. Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan ayat ini, ”Jika dosa dilakukan terus menerus, maka ia akan menutupi hati, jika hati sudah tertutup, maka Allah akan mengunci mati hati, sehingga tidak ada lagi jalan bagi iman untuk memasukinya. Dan kekufuran tidak bisa keluar dari dalamnya. Itulah penutup dan kunci yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah: 7)
Sekarang kita lihat diri kita masing-masing. Bayangkan jika satu hari kita melakukan sepuluh dosa misalnya. Maka, betapa singkat waktu yang dibutuhkan untuk membuat hati menjadi mati terkunci. Karenanya, sebagai bentuk waspada terhadap dosa, Mujahid bin Jabr memberikan gambaran yang mengerikan. Beliau berkata, “Hati itu, seperti ini…(beliau memperagakan telapak tangannya yang dibuka). Jika ia berbuat dosa, maka akan seperti ini… (beliau kemudian melipat salah satu jarinya hingga menutup sebagian telapak tangan). Jika dia berbuat dosa lagi, maka seperti ini..(beliau melipat jari yang kedua), demikian juga untuk yang ketiga dan keempat).” Kemudian pada bilangan ke lima beliau menggenggamkan ibu jari hingga telapak tangan menjadi tertutup, beliau berkata, “Lalu Allah mengunci mati hatinya. Lalu siapakah di antara kalian yang masih yakin bahwa hatinya belum tertutup?”
Sungguh mengerikan penggambaran ini. Karena betapa kita sering melakukan dosa, lalu kita merasa aman. Tidak kita ingat, tidak kita hitung, apalagi berusaha untuk dibersihkan. Sehingga potensi tertutupnya hati begitu cepat. Bila hati telah tertutup, maka sulit bagi cahaya iman menerobos masuk menerangi hati, lantaran rapatnya penutup hati dan bercak dosa yang menyelimutinya. Maka jangan heran jika di antara manusia ada yang sulit menerima kebenaran, meski telah jelas bukti-buktinya. Karena hati telah mati. Ia tak lagi mampu menjalankan fungsi yang semestinya. Fungsi untuk mendeteksi, memilih serta mengomando jasad untuk menjalani kebenaran, dan menjauh dari keburukan. Nasihat tidak pula berfaedah baginya. Sebagaimana karakter orang kafir yang difirmankan Allah,
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah 6-7)
Agar Hati Tidak Mati
Hati adalah sesuatu yang paling berharga bagi manusia. Kerusakannya pertanda kesengsaraan pemiliknya sepanjang masa, di dunia, di alam barzakh hingga kekal tinggal di neraka. Hanya hati yang salim, bersih dan lurus yang bisa menyelamatkan manusia, hingga ia menghadap Rabbnya. Karenanya, penjagaan hati dari segala unsur yang merusaknya, lebih diperhatikan dari penjagaan terhadap apapun yang kita miliki di dunia.
Jika di antara ulama mengibaratkan hati dengan rumah, maka hati orang mukmin seperti rumah yang dipenuhi oleh kekayaan iman. Sedangkan setan layaknya pencuri yang mengincarnya. Tentunya, dia tidak akan membiarkan pencuri untuk mengambil sedikitpun kekayaan yang ada di dalamnya.
Di antara salaf mengatakan, “Hati itu ibarat rumah yang memiliki enam pintu, maka jagalah semua pintu, jangan sampai pencuri masuk melalui salah satu pintu itu, karena ia akan merusak rumahmu. Hati adalah rumah, sedangkan pintu-pintu itu adalah mata, lisan, pendengaran, penglihatan, kedua tangan, dan kedua kaki. Siapa yang membuka salah satu pintu ini untuk setan maka hilanglah isi rumahnya.”
Pun begitu, keterbatasan manusia yang memang tidak maksum dari dosa, sesekali akan kecolongan juga. Karena setan tak pernah tidur, sedang kita tidur. Setan terus menggoda, sementara kita tak selalu siap dengan perisai yang menghalanginya. Kadang penjagaan lengah, hingga setan mencuri sebagaian kekayaan imannya. Kadang seseorang tergelincir dalam dosa, hingga hal itu meninggalkan bercak dalam hatinya. Manusia yang takwa takkan menyerah begitu saja. Dia segera mengusir setan dari dalam hatinya, dia akan membersihkan bercak yang menempel di hatinya, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)
Orang yang bertakwa ialah dia yang peka terhadap dosa, lalu segera membersihkannya, menyesal, bertaubat nasuha dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Dia juga memohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan setan yang menghasutnya. Selayaknya, kita banyak berdoa kepada Allah, seperti ’curhat’ Umar bin Abdul Aziz yang sering berdoa kepada Rabbnya dengan doa, “Rabbi, Engkau telah menguasakan musuh atas diriku. Engkau jadikan dadaku sebagai tempat tinggalnya. Engkau jadikan aliran darahku sebagai jalannya. Jika aku ingin berbuat maksiat, dia menyemangatiku. Jika aku ingin berbuat taat, ia memperlambat langkahku. Dia tidak lalai saat aku lalai. Dia tidak lupa saat aku lupa. Dia memasang jerat syahwat dan menyuguhkan syubhat. Rabbi, jika Engkau tidak menjauhkan tipudayanya dariku, maka ia akan menggelincirkanku. Ya Allah, tundukkanlah kekuatannya untukku dengan kekuasaan-Mu atas dirinya, sehingga ia menyingkir dengan banyaknya dzikirku kepada-Mu, sehingga aku termasuk orang-orang yang terjaga dari kejahatan setan.” Amien.

Senin, 09 Mei 2011

SIFAT MASJID DHIROR YANG HARUS DIJAUHI

Tulisan ini adalah terjamahan dari salah satu bab pada kitab syaikh Abu Muahammad al Maqdisi yang berjudul : Tuhfatul abror fii ahkami masajidi dhiror. Semoga dapat menambah ilmu dan meluruskan aqidah kita.
Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُواْ مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِّمَنْ حَارَبَ اللّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ وَلَيَحْلِفَنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ، لاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَداً لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ، أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ، لاَ يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْاْ رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلاَّ أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
108. Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
109. Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.
110. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu Telah hancur[661]. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [ At Taubah :
Pada ayat ini Allah Ta’ala telah menjelaskan pada kita sifat masjid dhiror, dan tidak diragukan lagi bahwa penjelasan tersebut sangat bermanfaat bagi manusia. Tidak mungkin Allah menjelaskan dalam kitabnya hal yang sia-sia. Maha suci Ia dari hal yang sia-sia.
Diantara sifat masjid dhiror yang telah Allah memerintahkan nabi-Nya untuk menjauhi dan berdiri di dalamnya selama-lamanya adalah :
Pertama : yaitu masjid yang [menimbulkan kemadhorotan] bagi kaum muslimin dan membahayakan din mereka. Dan dalam hadist : tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. Riwayat Ahmad, Ibnu majah dan lainnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa bahaya yang paling besar adalah ketika sudah menyangkut permasalahan tauhid. Karena dengan bahaya yang mengarah pada tauhid atau hancurnya tauhid adalah sebesar-besar bencana. Tidaklah diutus para rasul, diturnkannya al qur’an dan disyari’atkannya jihad serta mati syahid kecuali untuk menjaga tauhid dan menghilangkan hal-hal yang membahayakannya.

Kedua : dibangun oleh orang kafir atau munafiq karena permintaan atau perintah dari orang kafir. Allah Ta’ala berfirman : [ untuk kekafiran ]. Maka orang-orang munafiklah yang membangunnya [ masjid dhiror ] karena melaksanakan perintah dari Abi Amir ar rahib al kafir. Ialah yang berusaha keras memerangi nabi sallallahu alaihi wasallam sampai dihancurkannya hawazin [ kabilah yahudi ] di hunain. Ia pulalah yang pergi ke romawi untuk minta tolong kepada mereka dalam memerangi nabi sallallahu alaihi wasallam dan diutuslah kepada orang-orang munafikin untuk mempersiapkan apa yang mereka mampui dari kekuatan dan supaya membangun masjid. Maka saya pergi ke kaisar romawi dan datang dengan tentantara yang akan mengeluarkan Muhammad dari Madinah. Kemudian dibangunlah masjid dhiror.
Allah Ta’ala berfirman : Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. [ At Taubah : 109 ]. Maka ta’sis dalam ayat ini adalah pertama kali dibangun dan pondasinya. Dan yang dimaksud di sini adalah pembangun mesjid tersebutdan bukan yang memperbarui atau memperluas setelah tua.
Ketiga : yaitu masjid yang dibangun atas niat orang-orang yang beriman serta muwahhidin. Allah Ta’ala berfirman [ dan untuk memecah belan antara orang-orang mukmin ] karena memecah belah kaum mukminin dan memunculkan permusuhan dan kebencian diantara mereka adalah tujuan orang-orang kafir dalam rangka melemahkan kaum mukminin.
Sedangkan menjauhi orang-orang kafir dan kebatilan mereka adalah seutama-utama taqorrub kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah lurus iman seseorang serta tidaklah seseorang menempuh jalan para nabi dalam berdakwah kecuali dengan memusuhi orang-orang kafir.
Tidaklah orang kafir membangun masjid kecuali untuk mencampur adukkan antara yang haq dengan yang batil dan antara tauhid dengan syirik. Yaitu dengan cara mengumpulkan ahlul haq dengan ahlul batil, dzikrullah dengan dzikrut taghut seperti adanya berbagai muktamar dan dauroh yang dilaksanakan di masjid besar yang dibangun oleh para taghut. Di sana kita jumpai para ulama’ taghut berkumpul di masjid tersebut berbincang-bincang dengan orang nasrani dan orang-orang kafir lainnya bahkan ada diantara mereka yang ikut mengisi berbagai acara di masjid tersebut.
Maka tidak pantas seorang muslim untuk berkumpul bersama mereka, karena Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah diminta untuk shalat di masjid dhirror, kemudian Allah larang dengan firman-Nya : [ Janganlah berdiri di dalamnya selama-lamanya ]. Maka wajib bagi seorang muslim untuk merusak program-program mereka, menggagalkan usaha-usaha mereka, dan menjauhi perangkap-perangkap mereka serta mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan membenci mereka dan menjauhi mereka serta memusuhi mereka sebagaimana telah dicontohkan nabi kita Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Maka sekali-kali janganlah kalian berdiri di dalam masjid yang dibangun oleh taghut dengan tujuan memecah belah umat islam.
Yang ke empat : [ serta menunggu kedatangan orang-orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-Nya ]. Yaitu tempat yang digunakan untuk memerangi Allah dan Rasul-nya. Dan tempat berkumpulnya para pembesar mereka dan ulama’nya yang memberikan berbagi pengarahan dalam rangka merusak din ini dan memecah orang-orang beriman serta jihad yang mereka lakukan.
Demikianlah sekilas tentang sifat masjid dhiror semoga bermanfaat.
[ Amru ]
Pada edisi yang lalu telah dibahas tentang terlarangnya menyembelih untuk selain Allah, karena menyembelih adalah termasuk ibadah maka tidak boleh ditujukan untuk selain Allah Ta’ala. Ada sebagian kaum muslimin yang sudah mengetahui bahwa hal ini ibadah, sehingga tidak ditujukan untuk selain Allah tetapi terjerumus dalam hal yang terlarang lainnya. Banyak diantara mereka yang menyembelih untuk Allah akan tetapi di tempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah seperti di kuburan ‘wali’, tempat pemujaan kesyirikan dengan alasan bahwa sembelihan ini untuk Allah dan telah di ucapkan basmalah lalu bagaimana hukum hal ini? Bolehkah dilakukan?? Maka ikutilah pembahasan berikut ini -semoga Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita-
Kisah Masjid Dhiror
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At Taubah: 107-108)
Masjid yang dilarang sholat tersebut disebut Masjid Dhiror. Masjid ini dibangun tidak di atas dasar iman dan taqwa. Masjid tersebut dinamakan masjid Dhiror karena memberikan mudhorot (bahaya) dan memecah belah kaum muslimin. Allah berfiman tentang kaum munafiq yang artinya: “Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (At Taubah: 95)
Adapun kaitannya dengan menyembelih di tempat yang dipergunakan untuk menyembelih hewan kepada selain Allah adalah karena sholat untuk Allah terlarang jika dilakukan di tempat yang dipakai untuk sholat demi selain Allah, maka demikian juga terlarang menyembelih untuk Allah di tempat penyembelihan untuk selain Allah. Sebagaimana Rosululloh SholAllahu ‘alaihi wa sallam melarang sholat ketika matahari terbit atau tenggelam, dikarenakan kedua waktu tersebut digunakan oleh orang kafir untuk menyembah matahari.
Tempat Menyembelih Harus Diperhatikan
Dalil yang lebih jelas akan hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosululloh SholAllahu ‘alaihi wa salam; Ada seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Buwanah (nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah sebelum Yalamlam, atau anak bukit sebelah Yanbu’) lalu orang itu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi pun balik bertanya, “Apakah di tempat itu pernah ada berhala jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu perayaan hari raya mereka?” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penuhilah nadzarmu itu. Akan tetapi tidak boleh memenuhi nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar dalam perkara yang bukan milik seseorang.” (HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut persyaratan Bukhori dan Muslim. Dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohihul Jami)
Pertanyaan Nabi SholAllahu ‘alaihi wa salam tentang status dan keadaan tempat tersebut menunjukkan bahwa jika tempat tersebut adalah tempat berhala atau perayaan orang musyrik maka terlarang menyembelih untuk Allah di situ. Karena pada kedua jenis tempat tersebut biasa dipakai untuk menyembelih untuk selain Allah. Terlarangnya hal itu karena menyerupai perbuatan kaum musyrikin secara lahiriah walaupun niatnya ikhlas untuk Allah semata hal ini tetap terlarang. Adapun jika niatnya untuk selain Allah Ta’ala maka hal ini lebih parah sehingga menjerumuskan pelakunya kedalam kesyirikan pada Allah Ta’ala. Penyerupaan dalam lahiriah ini dapat menyebabkan dampak yang besar bagi kaum muslim yang melihatnya, sehingga mereka akan berpikiran bahwa perbuatan ini dibolehkan di dalam agama Islam sehingga tanpa sadar mereka telah berbuat kesyirikan.
Islam telah menutup segala pintu yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sebagaimana Allah telah melarang segala perkara yang dapat mendekati zina dalam firmanNya yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32). Maka terlebih lagi jalan menuju kesyirikan, di mana hal tersebut dapat mengantarkan seseorang ke dalam neraka selama-lamanya, maka wahai saudaraku berhati-hatilah terhadap jalan-jalan yang menghantarkan kepada kesyirikan Adapun hukum nadzar untuk menyembelih di tempat yang seperti itu adalah termasuk nadzar maksiat dan nadzar maksiat terlarang untuk dilaksanakan.
Jangan Tasyabbuh
Hal lain yang menyebabkan terlarangnya tasyabbuh/menyerupai kaum musyrik segi lahiriah adalah mengingat kesamaan lahiriah akan membawa kepada kesamaan batiniah (keyakinan). Rosululloh SholAllahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk menyerupai suatu kaum musrik dalam sabdanya yang artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan). Sehingga orang yang menyerupai kaum musyikin maka dia adalah bagian dari mereka. Atau memungkinkan adanya syetan yang akan membisikkan niat yang buruk sehingga berkeyakinan bahwa menyembelih di tempat ini lebih utama dari pada di tempat lainnya sehingga tanpa sadar dia akan terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, ingatlah saudaraku bahwa syetan terkutuk tidaklah pernah berputus asa untuk menggoda manusia untuk selalu berbuat kemaksiatan sampai akhirnya berbuat syirik. Ingatlah bagaimana kisah seorang Ahli ibadat yang sedikit demi sedikit berbuat kemaksiatan sampai akhirnya melakukan kesyirikan.
Wahai saudaraku jangan sepelekan dosa walau sekecil apapun tapi ingatlah siapa yang kita durhakai yaitu Dzat yang telah menciptakan kita dan telah memberikan nikmat serta rizki sekian banyak pada kita, apakah nikmat tersebut akan kita gunakan untuk bermaksiat kepadaNya?
Semoga Allah menyelamatkan diri dan keluarga kita dari tindakan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. WAllahu A’lam.

Pengikut