kaligrafi

kaligrafi

Rabu, 27 April 2011

AWAS ! MURIJI'AH GAYA BARU

Telah muncul pada akhir masa sahabat orang yang menganggap bahwa iman yang dapat menyelamatkan pelakunya dari neraka adalah syahadat yang hanya diucapkan dengan lesan dan diikrarkan dalam hati. Walaupun ia belum pernah beramal shalih entah shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, dan belum pernah melaksanakan berbagai perintah diin, dan ia mengira tidak membatalkan imannya dan tidak mengeluarkan dari millah islam.
Demikian pula jika ia berbuat kemungkaran dan melakukan seluruh dosa-dosa besar, bahkan sujud kepada selain Allah, berdo’a kepada selain-Nya, menghalalkan yang diharamkan Allah, menharamkan yang dihalalkan Allah, dan berhukum atas segala urusan dengan hukum selain islam, bahkan walaupun mencela Allah dan rasul-Nya serta diin. Mereka menganggap bahwa itu adalah amalan dhohir sedangkan hatinya masih beriman – menurut anggapan mereka – dan tidak mengeluarkan mereka dari keislaman.
Mereka mengira bahwa orang yang semasa hidupnya belum pernah sujud sama sekali, belum melakukan perintah Allah satupun, dan melakukan berbagai amalan-amalan kekafiran telah mendapat rahmat Allah di akhirat. Dan mereka mendapatkan syafa’at di akhirat. Mereka menganggap jika mendapat adzab di akhirat maka akan diringankan dengan syafa’at dan syahadat dia dengan lesan dan hatinya saat di dunia.
ketika muncul pemikiran yang berbahaya ini, tampillah para tabi’in dan ulama’ ahlussunnah menyeru untuk menjauhi pemikiran tersebut disetiap tempat. Mereka serukan ummat untuk menjauhi pemikiran yang hina dan telah merusak pondasi-pondasi islam ini. merekapun menamai fitnah ini dengan fitnah irja’.

Ahlussunnah wal jama’ah memberikan ta’rif iman dengan perkataan lesan, pembenaran hati dan amalan anggota badan. Dan salah satu dari ketiganya tidak berguna jika berdiri sendiri-sendiri. Mereka bahtah tulisan-tulisan ahlul bid’ah dengan kalamullah dan juga kalam rasulullah sallallahu alaihi wasallam serta ijma’ sahabat. Disamping itu juga dengan penalaran akal sehat bahwa tidak mungkin berkumpul kekafiran dan keimanan dalam hati seseorang. Dan bagaimana mungkin dikumpulkan antara kemaksiatan dengan dengan keimanan dan ketundukan ?.
Bid’ah murji’ah ini telah dimunculkan kembali hari ini dengan nama baru dan bentuk baru. Bahkan mereka menamakan diri mereka dengan ahlussunnah dan pengikut salafus shalih.
Arti iman yang benar

Iman menurut ahlussunnah wal jama’ah terdiri dari tiga unsur. Keyakinan dalam hati, persaksian dengan lesan dan beramal dengan anggota badan. Jika hilang salah satunya, hilanglah iman. Barang siapa yang bersaksi dengan lesannya bahwa tidak ada ilah kecuali Allah sedang hatinya tidak beriman, maka ia kafir munafiq walaupun ia shalat dan puasa serta haji. Dan jika ia mengakui dengan hati sedang tidak mengucapkan dengan lesannya, maka dia kafir walaupun melaksanakan sebagian dari syari’at islam sebagaimana abu thalib.
Dan barang siapa bersaksi dengan lesannya dan hatinya mengakui, akan tetapi berpaling dari amalan-amalan islam secara keseluruhan tanpa paksaan, seperti haji, shalat, puasa, zakat dan lainnya, maka ia kafir kekal dalam neraka.
Kalimat yang ditebalkan inilah yang menjadi perdebatan panjang antara ahlussunnah dengan murji’ah. Karena menurut murji’ah seseorang tetap sempurna imannya walaupun meninggalkan amal sebagaimana dikatakan oleh murji’atul fuqoha’.
Berkata Muhammad bin Husain Al Ajurri rahimahullah : ketahuilah- semoga Allah merahmati kita dan kalian – bahwasanya apa yang telah disepakati ulama’ul muslimin : Bahwasanya iman adalah wajib bagi setiap hamba. Dan ia pembenaran hati, pengikraran dengan lesan dan bermala dengan anggota badan.
Kemudian ketahuilah : sesungguhnya tidak ada gunanya mengetahui dengan hati dan membenarkan kecuali harus dibarengi dengan iman di lesan dengan mengucapkannya. Dan tidak ada gunanya mengetahui dengan hati dan mengucapkan dengan lesan sehingga ia beramal dengan anggota badan. Jika tiga sifat ini terpenuhi maka ia adalah orang yang beriman [ As Syari’ah : 120 ].
Dan berkata juga : Ketahuilah – semoga Allah merahmati kita dan kalian – wahai ahlal qur’an, dan wahai ahlal ‘ilmi dan juga para ahli sunnah dan atsar. Dan juga siapa saja yang Allah faqihkan dalam urusan diin dalam hal halal dan haram. Jika kalian mentadaburi al qur’an sebagaimana Allah telah perintahkan pada kalian, maka kalian akan tahu bahwa Allah ‘Azza wajalla mewajibkan kepada orang-orang beriman setelah beriman pada-Nya dan juga rasul-Nya : untuk beramal. Dan bahwa sanya Allah ‘Azza wajalla tidak memuji orang-orang yang beriman dan meridhoi mereka dan merekapun ridho pada Allah, dan mendapat pahala berupa jannah serta selamat dari neraka kecuali dengan iman dan amal shalih. Dan iman harus disertai amal shalih, karena tidak akan masuk jannah seseorang hanya dengan imannya saja sampai ia beramal shalih yang sesuai dengan imannya. Maka menjadilah iman itu tidak sempurna pada diri seseorang sehingga membenarkan dengan hatinya, mengucapkan dengan lesannya, serta beramal dengan anggota badannya. Hal ini jelas akan didapatkan bagi orang yang mentadaburi alqur’an dan lembarannya, ia akan mendapatkan sebagaimana yang aku sebutkan.
Ketahuilah – semoga Allah merahmati kita dan juga kalian – aku telah mebuka lembaran-lembaran qur’an dan aku mendapatkan di dalamnya 54 tempat pada kitabullah ‘Azza wajalla : Bahwasanya Allah tidak akan memasukkan seorang mukmin ke jannah dengan iman saja. Akan tetapi Allah masukkan mereka ke jannah dengan rahmat-Nya kepada mereka dan dengan iman yang dibarengi amal shalih. Ini menjadi bantahan kepada orang yang berkata : iman hanyalah mengetahui saja. Dan bantahan kepada orang yang berkata : mengetahui saja cukup tanpa amal. Kita berlindung pada Allah dari perkataan ini. [ As Syari’ah : 123 – 124 ].
Bahaya pemikiran murji’ah pada ummat :

Pemikiran ini sangat berbahaya terhadap ummat islam. Diantaranya adalah :
1. Membiarkan berbagai kekufuran dan kemaksiatan pada kaum muslimin. Dan yang paling nampak adalah; membiarkan hukum selain hukum Allah diterapkan di bumi, membiarkan orang mencela Allah, rasul dan juga din islam, membiarkan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya. Semua perbuatan tersebut mereka yakini tidak merusak keimanan, dan mereka masih akan mendapatkan jannah di akhirat.
2. Diantara akibat yang buruk dari pemikiran tersebut, memberika dukungan terhadap orang-orang munafik dan kafir. Mereka masih menganggap sebagai seorang muslim kepada siapa saja yang mengucapkan syahadat walaupun meninggalkan shalat, zakat, shaum, haji dan amalan-amalan lainnya. Sehingga mereka memberi peluang bagi mereka-mereka ini untuk menjadi pimpinan kaum muslimin selama tidak mengusir orang-orang islam.
3. Yang lebih parah lagi adalah menuduh para pejuang-pejuang islam dengan sebutan khowarij. Hal tersebut dikarenakan para mujahidin telah menghukumi kafir kepada orang yang telah Allah kafirkan seperti meninggalkan shalat, menghina diin islam, mencela Allah dan rasul serta para wali-Nya, mengganti syari’at, dan orang-orang yang memerangi islam. Dengan aqidah mereka yang sesat ini, mereka memberikan perwalian kepada musuh-musuh Allah dan sebaliknya memerangi para wali Allah dengan lesan, tulisan dan bahkan badan mereka. Sungguh disayangkan perbuatan ini telah banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok sesat murji’ah ini.
4. Lebih membahayakan lagi, bahwa para pengikut murji’ah hari ini telah menggunakan nama pengukut ahlussunnah waljama’ah. Maka muncullah fitnah baru dalam menghalang-halangi ummat dari jalan Allah dengan nama ahlusssunnah. Ummatpun menjadi bingung, siapa sebenranya yang ahlusssunnah ?.
5. Diantara kejelekan pemikiran ini, mereka menghantam kewajiban untuk mengingkari kemungkaran yang menjadi asas islam. Padahal dengannya islam akan terjaga dari musuh-musuhnya, dan juga orang-orang yang ingin merusaknya.
6. Mereka mengembalikan seluruhnya kepada hati. Padahal tidak ada yang tahu isi hati kecuali Allah Ta’ala. Dan mereka mentakwil berbagai ayat dan hadist yang jelas agar maknanya dapat disimpangkan. Lihatlah pada dalil-dalil yang dipaparkan oleh mereka dalam tulisan-tulisan dan juga ceramah mereka.
Masih banyak bahaya pemikiran murji’ah yang belum kami tulis. Dan semoga yang sedikit ini memberi gambaran pemikiran yang tentang murji’ah. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan juga saudara-saudara kita dari fitnah yang menyesatkan ini. dan semoga Allah Ta’ala mewafatkan kita dalam keadaan berjalan diatas jalan yang lurus. Jalan para nabi, syuhada’ dan shalihin.
Jika ingin mendalami materi ini silahkan antum buka : Al burhan ‘ala anna tarikul ‘amal ihtiyaron faqidun liashlil iman. Karangan syaikh Abdurrahman abdul Kholiq.
Saudara kalian : Amru

Rabu, 20 April 2011

MUI: Film 'Tanda Tanya' Hanung Sebarkan Faham Haram dan Sesat


Kamis, 07 April 2011 08:28 administrator
EmailCetakPDF
JAKARTA – Bukan hanya warga Nahdiyin saja yang mengecam film "?" (tanda tanya) garapan Hanung Bramantyo. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menilai film ini menyebarkan faham Pluralisme Agama yang telah difatwa haram.
Penyebaran faham Pluralisme ini telah dicermati oleh KH Cholil Ridwan, Ketua MUI Pusat Bidang Budaya, usai menyaksikan film itu Rabu malam (6/4/2011) di Jakarta.  "Film ini jelas menyebarkan faham Pluralisme Agama yang telah difatwakan sebagai faham yang salah dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya," ujar Cholil dalam penjelasan tertulisnya kepada voa-islam.com, Kamis (7/4/2011).
Indikasi faham pluralisme ini, jelas Cholil, terlihat dalam narasi di bagian awal, "Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan."
Dengan pandangan seperti itu, ujar Cholil, pihak pembuat film jelas memposisikan dirinya sebagai seorang non Muslim penganut faham netral agama, karena semua agama dipandang sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Tuhan yang sama. Konsep netral agama tak mengenal konsep Tauhid dan Syirik, atau Mukmin dan kafir, sehingga bertolak belakang dengan ajaran Islam.
"Cara pandang seperti ini menunjukkan bahwa pembuat film ini berdiri pada perspektif bukan sebagai seorang Muslim, tetapi sebagai seorang yang netral agama, yang memandang semua agama adalah menyembah Tuhan yang sama," tegas pengasuh Pesantren Husnayaian Jakarta itu.
Selain itu, papar Cholil, cara pandang pembuat film ini juga bertentangan dengan cara pandang Nabi Muhammad SAW. "Saat Rasulullah diutus sudah ada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik Arab. Tapi Nabi Rasulullah menyeru mereka semua agar kembali kepada satu prinsip yang sama (Kalimatin Sawa'), yaitu prinsip Tauhid hanya menyembah Allah semata," tegasnya sembari mengutip Al-Qur'an surat Ali Imran 64, Maryam 88-91, Al-Ma'idah 73, dan Ash-Shaff:6).
Karenanya, Cholil yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ini mempertanyakan keagamaan para pembuat film "?" yang tidak mau memakai agama sebagai dasar pijakan. "Sangat aneh jika seorang mengaku beragama Islam, tetapi melihat agama-agama lain selain Islam, bukan dari kacamata Al-Qur'an, tetapi dari kacamata netral agama," kritiknya.
Dalam pandangan akidah, lanjut Cholil, film ini sama sekali tidak bisa dibenarkan.
"Film ini mencampuradukkan dan mengacaukan konsep toleransi dan kerukunan dengan konsep "Pluralisme" dalam hal teologis," kecamnya. "Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus mengorbankan keyakinan keagamaan masing-masing, karena kerukunan umat beragama dapat terwujud bila masing-masing pemeluk agama tetap dengan klaim kebenarannya masing-masing " imbuhnya.
Setelah menelaah secara kritis mulai dari judul hingga bagian penutup (ending), Kholil Ridwan menyimpulkan bahwa pembuat film "?" ini belum memahami Islam. Karenanya, ia mengimbau agar para pembuat film, terutama sutradaranya, mengkaji Islam secara mendalam agar film-film hasil karyanya tidak sesat dan menyesatkan orang. Sangat tidak beradab, jika seseorang yang mengaku "tidak tahu" atau "belum tahu", tetapi sudah berlagaksok tahu.
"Saya menyarankan agar Saudara Hanung sebaiknya mengaji yang baik, dan dengan sukarela menyatakan bahwa filmnya memang keliru dan mengelirukan," imbau Cholil. "Lebih baik lagi, film ini ditarik dari peredaran," pungkasnya.

Jauhi Gaya Hidup Jahiliyah



EmailCetakPDF

Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari tidur hingga tidur kembali. Mulai dari urusan pribadi hingga urusan negara dan pemerintahan. Dan tidak seorangpun diperbolehkan untuk keluar dari aturan Allah dan syari’atn-Nya. Bahkan Allah Ta’ala mengancam kepada orang-orang yang menyelisihi perintahnya dengan firman-Nya :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (63)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [ QS.An Nuur : 63 ].
Ibnu Katsir menjelaskan : hendaklah kalian berhati-hati dan takut untuk menyelisihi syari’at Rasulullah secara batin ataupun yang nampak. Maka akan tertimpa bencana di dalam hati mereka berupa kekufuran, kenifakan atau kebid’ahan. Atau tertimpa adzab yang pedih. Yaitu di dunia dengan terbunuh, atau terkena had, penjara atau yang lainnya.
Begitulah Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dengan kesengsaraan dan kehinaan di dunia dan akhirat. Maka bagi seorang muslim tidak ada pilihan jika ia menginginkan kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat kecuali mengikuti aturan Islam dan cinta terhadap aturan tersebut. Sebagaimana perkataan Umar Ibnul Khottob t :
"نَحْنُ قًوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالْإِسْلاَمِ فَمَتَى اِبْتَغَيْنَا بِغَيْرِ الْإِسْلاَمِ أَذَلَّنَا اللهُ".
"Kami adalah kaum yang Allah mulyakan dengan islam, maka setiap kami mengharapkan kemuliaan di luar Islam, Allah menghinakan kami." ( At Tobari 13/478 ).

Lawan dari Islam adalah jahiliyah. Jika ada gaya hidup yang Islami, maka ada juga gaya hidup jahili. Sedangkan orang-orang yang menyelisihi Islam disebut dengan jahiliyah. Keduanya memiliki gaya hidup masing-masing, yaitu gaya hidup Islami, dan gaya hidup jahili.
Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir.
Setiap Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala berikut ini:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf: 108].
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Mereka bangga meniru mode-mode orang kafir. Memperingati ulang tahun kelahiran dan berbagai adat kebiasaan mereka yang sama sekali tidak dituntunkan oleh Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh RasulullahShallallaahu alaihi wa Salam  dalam sabda beliau :
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. قَالَ: فَمَنْ. (رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري، صحيح).
Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).
Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. (رواه أبو داود وأحمد عن ابن عباس).
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?
Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahulloh berkata, “Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, dimana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pen).” [Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367].
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa “kami meniru pakian dan adat istiadat orang kafir tidak akan membawa kami cinta kepada mereka”. Akan tetapi pernyataan itu dibantah Ibnu Taimiyah dengan mengatakan : Bahwa seseorang yang meniru orang lain dalam hal yang dhohir [ nampak] sudah dipastikan akan melahirkan perasaan dekat dan mencintai. Dan jika seorang muslim meniru orang kafir dalam tampilan, kebiasaan, akhlaq, bahasa dan yang lain, maka sudah dipastikan akan melahirkan perasaan dekat, kecintaan dan itulah yang terjadi hari ini. [ iqtidho’ shirotol mustaqim, darul ‘ashimah hal : 43 ].
Tentu saja lingkup pembicaraan tentang tasyabbuh itu masih cukup luas, namun dalam kesempatan yang singkat ini, tetap mewajibkan diri kita agar memperhatinkan kondisi umat kita saat ini.
Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.
Hadirin, marilah kita takut pada ancaman akhirat dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا؛ قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَتُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا. (رواه مسلم عن أبي هريرة، صحيح).
Artinya: “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah z, shahih).
Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.
Sebagai penutup khutbah ini saya mengajak kepada kita semua untuk memperhatikan, merenungi dan mentaati sebuah firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
  “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. [QS. At-Tahrim: 6].

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.

Senin, 18 April 2011

Harta, Antara Nikmat dan Fitnah


Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
headline, Manhaji, 26 - Februari - 2007, 01:24:25


Harta, tentu banyak yang menginginkannya. Beragam cara pun dilakukan untuk memperolehnya. Halal haram, bagi sebagian orang, adalah nomor kesekian. Yang terpenting adalah kebutuhan terpenuhi dan gaya hidup terpuaskan. Jika sudah seperti ini, harta tak lagi menjadi rahmat, namun menjadi celah turunnya azab.

Harta merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang dikaruniakan kepada umat manusia. Keindahannya demikian memesona. Pernak-perniknya pun teramat menggoda. Ini mengingatkan kita akan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Al-Jannah).” (Ali ‘Imran: 14)
Lebih dari itu, harta adalah sebuah realita yang melingkupi kehidupan umat manusia. ‘Sejarah’-nya yang tua, senantiasa eksis mengawal peradaban umat manusia di setiap generasi dan masa. Jati dirinya yang berbasis fitnah, telah banyak melahirkan berbagai gonjang-ganjing kehidupan. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya, tatkala Dia mengingatkan para hamba-Nya akan realita tersebut. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian itu (sebagai) fitnah, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfaal: 28)
Jauh-jauh hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari gemerlapnya harta dengan segala fitnahnya yang menghempaskan. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا، كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnah-fitnah ibarat potongan-potongan malam. (Disebabkan fitnah tersebut) di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Demikianlah wasiat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya tentang harta dan segala fitnahnya. Allahumma sallim sallim…(Ya Allah, selamatkanlah kami semua darinya).

Ketertarikan Hati Manusia Terhadap Harta
Manusia sendiri merupakan makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berjati diri amat dzalim (zhalum) dan amat bodoh (jahul). Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam mensifatinya, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً

“Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Sontak, tatkala harta menghampiri, ketertarikan hati pun tak bisa dimungkiri lagi. Mereka benar-benar amat mencintainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20)
Bahkan, saking cintanya terhadap harta akhirnya ia menjadi bakhil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ

“Sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil dikarenakan kecintaannya yang sangat kuat kepada harta.” (Al-‘Adiyat: 8)
Jika demikian kondisinya, maka tak mengherankan bila (kebanyakan) manusia teramat berambisi mengumpulkan dan menumpuknya. Sungguh benar apa yang disabdakan dan diperingatkan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثََالِثًا، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Kalaulah anak Adam (manusia) telah memiliki dua lembah dari harta, niscaya masih berambisi untuk mendapatkan yang ketiga. Padahal (ketika ia berada di liang kubur) tidak lain yang memenuhi perutnya adalah tanah, dan Allah Maha Mengampuni orang-orang yang bertaubat.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 6436, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma)
Para pembaca yang mulia, ketika hati anak manusia amat cinta kepada harta bahkan berambisi untuk mengumpulkan dan menumpuknya, maka sudah barang tentu harta tersebut dapat melalaikannya dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (dzikrullah). Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Mengetahui keadaan para hamba-Nya telah memberitakan hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

“Telah melalaikan kalian perbuatan berbanyak-banyakan. Hingga kalian masuk ke liang kubur.” (At-Takatsur: 1-2)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Telah melalaikan kalian (dari ketaatan, pen.) perbuatan berbanyak-banyakan dalam hal harta dan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka dari itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala memperingatkan orang-orang yang beriman dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian (dapat) memalingkan kalian dari dzikrullah. Barangsiapa berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Harta Dapat Menjadikan Seseorang Sombong
Kondisi serba berkecukupan alias kaya harta tak jarang membuat seseorang lupa daratan, melampaui batas, dan sombong. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كَلاَّ إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Manakala dia melihat dirinya serba berkecukupan.” (Al-‘Alaq: 6-7)
Mungkin di antara anda ada yang bertanya: “Adakah di dalam Al-Qur`an kisah umat terdahulu yang lupa daratan, melampaui batas dan sombong dikarenakan harta yang dimilikinya, agar kita bisa mengambil pelajaran (ibrah) darinya?” Maka jawabnya adalah: “Ada.”
Di antaranya adalah Qarun, seorang kaya raya dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihissalam) yang telah melampaui batas dan sombong. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوْءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لاَ تَفْرَحْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ. وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ. قَالَ إِنَّمَا أُوتِيْتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلاَ يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ. فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِيْنَتِهِ قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُوْنُ إِنَّهُ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ. وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُوْنَ. فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ اْلأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُوْنَهُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ. وَأَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِاْلأَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَأَنَّ اللهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلاَ أَنْ مَنَّ اللهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُوْنَ. تِلْكَ الدَّارُ اْلآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لاَ يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya Qarun termasuk dari kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah karuniakan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah engkau terlalu bangga diri (sombong), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri (sombong). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab: ‘ Sesungguhnya aku dikaruniai harta tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku’. Tidakkah Qarun tahu sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang jauh lebih kuat darinya dan lebih banyak dalam mengumpulkan harta? Dan tak perlu dipertanyakan lagi orang-orang jahat itu tentang dosa-dosa mereka. Maka (suatu hari) tampillah Qarun di tengah-tengah kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu berkatalah orang-orang yang tertipu oleh kehidupan dunia: ‘Duhai kiranya kami dikaruniai (harta) seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’ Adapun orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan: ‘Celakalah kalian, sesungguhnya karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, namun tidaklah pahala itu diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar.’ Akhirnya Kami benamkan dia (Qarun) beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada satu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang dapat membela dirinya. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah). Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 76-83)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut, pen.) bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri. Dan semua yang dimilikinya itu ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana pula yang telah dialami (sebelumnya, pen.) oleh Fir’aun.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Berikutnya adalah kisah tentang musuh-musuh para rasul secara umum yang melampaui batas lagi sombong disebabkan harta yang dimilikinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُوْنَ. وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ

“Dan Kami tidaklah mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun (Rasul) melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari segala apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’. Mereka juga berkata: ‘Kami mempunyai harta dan anak yang lebih banyak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab’.” (Saba’: 34-37)
Kisah berikutnya adalah tentang para pembesar Bani Israil yang memprotes Nabi mereka atas diangkatnya Thalut sebagai raja mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian’. Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun bukan orang yang kaya?’ (Nabi mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas serta tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Para pembaca, demikianlah beberapa fenomena mengerikan tentang harta dan perannya yang amat besar dalam mengantarkan anak manusia kepada kesombongan. Akibatnya, kebenaran dengan ‘enteng’ ditolaknya dan orang-orang mulia pun direndahkannya. Padahal seluruh harta dan kekayaan yang dimilikinya itu tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masih ingatkah dengan kisah Qarun, yang harta dan seluruh kekayaannya tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala? Bahkan ia dan seluruh kekayaannya dibenamkan ke dalam bumi?!
Hal senada telah Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan perihal Abu Lahab, paman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang kafir lagi sombong:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan segala apa yang ia usahakan (dari azab Allah).” (Al-Masad: 1-2)
Maka dari itu, tidaklah pantas bagi seorang muslim yang diberi karunia harta oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berbangga diri (sombong) dengan hartanya. Bukankah harta itu merupakan titipan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat? Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ

“Kemudian kalian pasti akan ditanya pada hari itu (hari kiamat) tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya).” (At-Takatsur: 8)

Refleksi tentang Pendapatan Ekonomi dan Penyalurannya
Sekedar potret betapa fitnah harta telah mencengkram dengan kuat umat manusia di jaman ini, adalah bersarangnya slogan hidup ‘time is money’ (waktu adalah uang) pada otak kebanyakan orang, termasuk umat Islam. Waktu pun dihabiskan untuk mengais harta sehingga tak ada waktu untuk keluarga, interaksi sosial, apalagi mengkaji ilmu agama. Ini diperparah dengan munculnya argumentasi dangkal; ‘mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal’. Padahal semua harta yang dimiliki ini kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat; Dari manakah harta itu diperoleh dan untuk apakah harta itu disalurkan?
Fenomena di atas akan kian nyata bila mencermati berbagai sarana untuk mendapatkan sumber ekonomi yang tak lagi memperhatikan norma-norma syariat, halal ataupun haram. Praktik riba merajalela, mulai dari sistem yang paling sederhana hingga yang tercanggih sekalipun. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri (ketika dibangkitkan dari kuburnya, pen.) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Allah, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), maka urusannya (terserah) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni An-Naar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. Dan Allah tidak menyukai orang yang tetap di atas kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, merekalah orang-orang yang mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tiada kekhawatiran pada diri mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian masih keberatan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok (modal) harta; kalian tidaklah menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279)
Persaingan usaha pun makin tak sehat. Jegal sana jegal sini, suap sana suap sini, hingga nyawa siap menjadi taruhannya. Tak mengherankan bila kehidupan bisnis dan industri saat ini banyak diwarnai kasus-kasus kelabu yang tidak selaras dengan fitrah suci dan norma-norma agama yang murni. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku di atas asas saling meridhai di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
Praktik penipuan kerap kali dilakukan dengan cara-cara sistematis. Bahkan untuk meraup harta orang lain pun tak jarang ditempuh jalur hukum, dalam kondisi pelakunya sadar bahwa ia sedang berbuat aniaya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Perjudian dengan beragam jenisnya, menjadi jalan pintas yang paling digemari dalam meraup ‘pendapatan’. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan para hamba-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan shalat; maka berhentilah kalian (dari perbuatan itu).” (Al-Maidah: 90-91)
Kasus-kasus pencurian, perampokan, hingga korupsi tak kalah banyaknya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berwasiat kepada sekalian umat manusia:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 168)
Sementara itu jika kita mencermati keadaan orang-orang yang diberi karunia harta oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka beragam pula modelnya. Ada yang menghambur-hamburkan hartanya dengan boros (di jalan yang tidak jelas), dan ada pula yang bakhil. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا. وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوْهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلاً مَيْسُوْرًا. وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَحْسُوْرًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Rabbnya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Rabbmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang pantas. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (bakhil, pen.) dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya sehingga kamu termasuk orang yang tercela lagi menyesal.” (Al-Isra`: 26-29)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman tatkala mengisahkan ucapan (nasihat) kaum Nabi Musa terhadap Qarun:

وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْْْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan carilah pada apa yang telah Allah karuniakan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Pergunakanlah apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah karuniakan kepadamu dari harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu, untuk ketaatan kepada Rabbmu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan beragam amal shalih, yang diharapkan dengannya mendapatkan pahala baik di dunia dan di akhirat. (Janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta'ala halalkan bagimu berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikahi wanita. Merupakan suatu keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabbmu, hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di (muka) bumi dan kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir juz 3, hal. 385)
Maka dari itu, bila anda termasuk orang yang mendapatkan karunia harta dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, jadikanlah harta anda sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tunaikanlah segala hak yang berkaitan dengan harta anda. Keluarkanlah zakat, bershadaqahlah kepada fakir miskin, santunilah anak yatim, bantulah orang-orang yang sedang kesusahan/ ditimpa musibah, dan lain sebagainya. Jangan sampai harta yang anda miliki menjadi penghalang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sebagai penyebab untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Jauhkanlah diri anda dari perbuatan menghambur-hamburkan harta dengan jalan pemborosan, sebagaimana pula harus menjauhkan diri dari sifat bakhil.

Penutup
Demikianlah gambaran harta yang senantiasa mengitari hidup manusia. Tentunya kita semua berharap agar termasuk hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang istiqamah di atas jalan-Nya. Dengan tidak buta mata (menempuh cara-cara yang haram) ketika diuji dengan keterbatasan rizki dan tidak lalai (untuk menunaikan hak) ketika dikaruniai keluasan rizki. Terlebih di masa sekarang ini yang banyak dipenuhi serpihan fitnah syahwat dan fitnah syubhat.
“Ya Allah…janganlah Engkau jadikan harta (dunia) ini sebagai sesuatu yang segala-galanya dalam kehidupan kami, dan jangan pula Engkau jadikan ia sebagai puncak tujuan dari ilmu yang kami miliki.”
Amiin ya Rabbal ‘Alamin….

Pengikut